Ada 2 hal yang mengawali kecintaan gua terhadap stand up comedy di Indonesia. Pertama, bit Soleh Solihun di episode perdana Stand Up Comedy Metro TV yang “Dulu mau jadi macan mesti belajar ngilmu ke Banten. Sekarang mah ga usah susah-susah, kalo mau jadi macan, tinggal makan biskuit!”
Bit itulah yang akhirnya membuat gua memutuskan untuk berkelana mencari tau lebih banyak tentang aksi komedi tunggal di Indonesia. Dan pencarian itulah yang membuat gua bertemu dengan hal kedua yang membuat gua semakin suka dengan stand up comedy di Indonesia.
Namanya Sam D. Putra. Atau lebih dikenal dengan penyebutan namanya yang dibarengi akun Twitternya: Sammy @notaslimboy. Gua pertama kali nonton dia berkomedi saat open mic di Es Teler 77 di daerah Jakarta Selatan, tahun 2011 lalu. Saat yang mencoba open mic kebanyakan anak muda, perawakan Sammy udah membuat dia stand out hari itu. Materinya sendiri ringan, keseharian, dan santai.
Namun jangan pernah bandingkan materinya 3 tahun yang lalu dengan materinya saat dia mengadakan stand up special Tanpa Batas Vol. 2: Komedian Menggugat. Pertunjukan tanggal 26 April kemarin jadi ajang transformasi seorang Sammy.
Acara itu sendiri dibuka oleh penampilan komika yang… yang apa ya? Oh, ini aja. Pertunjukan Komedian Menggugat kemarin dibuka oleh komika dengan bit-bit yang paling ngangengin: Rindradana. Iya, ngangenin. Gua belum menemukan komika lain yang punya bit seberani dia, namun dengan cara penyampaian yang sesantai dia. Sayangnya, Rindra jarang tampil, makanya ngangenin banget.
Rasanya sulit untuk membahas bit demi bit milik Rindra secara tertulis di sini tanpa menyebabkan pihak-pihak tertentu tersinggung. Sebenarnya dia ngebahas Manchester United sih… tapi ya sudah lah ya.
Sayangnya, setelah dibuka dengan kampret banget oleh Rindra, momentum agak sedikit turun karena 2 pembuka setelahnya ga seliar Rindra. Materi pembuka kedua yang ke-YKS-YKS-an bikin mood gua agak turun dan makin ga sabar menunggu kemunculan si empunya acara. Setelah opener ketiga turun panggung, akhirnya yang ditunggu pun nongol dari balik tirai.
Dengan jas dan celana abu, Sammy langsung membuka acara dengan ngegas penuh. Seperti yang gua bilang di atas, jangan bandingkan materi ini dengan materinya saat open mic beberapa tahun lalu. Isu-isu sensitif dengan cara penyampaian yang pokoknya-gue-mau-ngomong, bikin judul acara malam itu bukan hanya sekadar judul, tapi lebih seperti legitimasi.
Hari itu, penampilan Sammy memang tanpa batas.
Ga ada aturan yang membelengu Sammy saat melemparkan gugatan-gugatannya ke penonton. Bodo amat soal ras, persetan dengan agama, cuek bebek sama penguasa. Meski kadang emosinya membuat artikulasinya sedikit tersandung, namun keresahan yang Sammy ingin utarakan masih dapat tersampaikan dengan baik ke penonton.
Di kuartal pertama, Sammy mengajak penonton untuk lebih dekat dengan dirinya, dengan asal-usulnya, dan dengan keluarganya. Salah satunya lewat bit ini.
Gue ini orang Batak dan biasanya orang Batak itu berani-berani. Bukan berani karena benar. Tapi berani karena… ya, karena Batak aja.
Pekerjaan orang Batak itu yang berani-berani tapi halal. Kalau yang di bawah itu biasanya jadi tukang tambal ban. Halal kan? Ya halal lah, kalo urusan nebar pakunya mah bisa bayar orang lain.
Saat Sammy menyelesaikan bit itu, penonton terkekeh-kekeh. Tapi keseruan belum selesai sampai di situ.
Keluarga gue itu Batak middle class lah. Biasanya jadi supir. Contohnya paman gue yang kerja jadi supir bus. Wah dia itu kalo nyupir bus gila banget.
Pernah sekali gue tanya, “Tulang, kenapa ga jadi pembalap F1 aja?”
Kau kira gampang apa? Biasanya aku kan ngebut sambil nanya kenek, “Lae! Kiri gimana?” “Bablas, Bang!””
Graha Bakti Budaya pecah gara-gara bit ini!
Sammy lalu membawa penonton untuk menikmati bit-bit bergizi khasnya. Isu-isu hangat seputar pendidikan dan politik dibawakannya bukan hanya dengan lucu, tapi juga ganas dan berisi. Sekilas, penampilan Sammy bukan seperti orang yang ingin membuat orang lain tertawa, namun seperti orang yang sedang marah-marah dan ingin meluapkan isi hatinya. Opini-opininya dilempar tanpa pandang bulu. Hanya satu hal yang membuat dia sedikit ngerem karena khawatir. Adik iparnya ada di antara penonton malam itu.
Lupakan mantan pimpinan Kopasus. Istri ngambek lebih menakutkan buat Sammy.
Di bagian terakhir, Sammy mengajak penonton untuk menelusuri kembali pencapaian-pencapaiannya. Perihal perubahan-perubahan yang ia alami sejak menggeluti dunia komedi tunggal di Indonesia. Sekarang, ia sering disapa saat di jalan, meski ga semua orang tau namanya.
Biasanya ibu-ibu yang negur dan bilang, “Eh!”
Gue senyum-senyum doang.
Terus dia bilang, “Eh, ini Mas… Ini Mas Stenap Komedi ya?”
Gubrak.
Pencapaian Sammy bukan hanya itu. Saat closing statement, Sammy bilang bahwa baginya bisa berdiri di hadapan 800 orang itu mimpi yang terwujud bagi anaknya. Akan tiba masanya, anaknya mengambil DVD Komedian Menggugat dan menunjukkannya ke teman-temannya, dengan penuh rasa bangga. A priceless achievement.
Anyway,
Jika dirangkum ke dalam 1 kalimat, maka gua akan bilang menonton Sammy malam itu seperti naik jet coaster yang treknya turun terus. Rasanya ngeri-ngeri, tapi di saat yang bersamaan, bisa bikin girang. Tiap bit yang ia lempar kayaknya bisa bikin dia dirajam di tempat, tapi yang merajam bisa aja dirajam balik karena apa yang disampaikan Sammy ada benarnya, dan pastinya, lucu.
Di volume keduanya, Sammy ga butuh Dedi Dukun atau lagu Natalia milik Rano Karno untuk menghangatkan penonton. Dengan bit-bit yang gahar, Sammy sukses membuat penonton duduk ga nyaman di kursinya. Selama 1.5 jam, penampilannya ga kendor sama sekali. Sebuah pertunjukan yang panas.
Akhir kata, gua akan menutup review kali ini dengan sebuah kalimat yang selalu gua tuliskan setiap mengulas penampilan Sammy. Malam itu, Sammy telah mengembalikan arti kata stand up pada stand up comedy. Dan kali ini, ia mengembalikannya dengan cara yang megah dan luar biasa.
Bravo, Mas Stenap Komedi.
—
“Without continual growth and progress, such words as improvement, achievement, and success have no meaning.” – Benjamin Franklin.
