Semua bermula di akhir tahun 2012 dan berawal dari sebuah kebetulan.
Kebetulan, siang itu gua mengajak Tirta untuk jalan-jalan naik kereta membelah pulau Jawa. Traveling dari stasiun ke stasiun, kabupaten ke kabupaten. Perjalanan yang santai dengan tujuan bermalas-malasan. Duduk di pinggir jendela kereta menatap pohon yang seolah berlari sepertinya ide yang terdengar cukup menyenangkan buat gua.
Tapi ternyata Tirta punya ide lain. Ia mengusulkan agar kami traveling ke Boracay, Filipina. Awalnya gua ragu karena bahkan baru kali ini gua mendengar nama Boracay. Tapi karena cuti yang gua ambil lumayan panjang, akhirnya gua sanggupin ide gila itu.
Hotel pun dipesan, itinerary dicetak, dan uang disiapkan. Ketika lagi asik browsing tentang objek-objek wisata di Boracay, gua melihat pengumuman sebuah acara stand up comedy: COWmedy Buddy di Holycow Sabang. Acaranya tepat sehari sebelum gua berangkat ke Filipina. Kali ini, gua yang melempar ide dan Tirta yang mengiyakan. Ia bilang akan mengajak temannya, maka gua pun ga mau kalah. Gua hubungi satu orang teman dan dia menyanggupi untuk datang. Empat tiket gua pesan hari itu juga. Total 400ribu gua transfer. Selain tiket untuk nonton, kami juga akan dapat makan malam 1 steak untuk 1 tiketnya.
Kebetulan, seminggu sebelum acara COWmedy Buddy itu, teman gua membatalkan janji. Di saat gua bingung mau dikasih ke siapa, sebuah akun Twitter meng-RT salah satu twit gua. Avatarnya yang menarik memberanikan gua untuk iseng-iseng mengirim sebuah DM yang berisi pertanyaan, “Domisili di Jakarta? Gua ada tiket nonton stand up lebih nih.”
Hari itu juga, DM itu terbalas. Ia menolak dengan sopan.
Akhirnya gua nonton stand up sendirian, sementara Tirta datang dengan seorang teman. Namun sialnya, teman Tirta harus pergi meski acara belum selesai dan steak belum dihidangkan. Alhasil, ketika 4 steak disajikan di atas meja, gua dan Tirta terlihat seperti sepasang homo yang 3 hari belum makan.
Besok paginya, gua dan Tirta bertemu lagi di bandara dan kami melakukan 27 jam perjalanan dari Jakarta ke Boracay.
Kebetulan, bulan itu badai tropis sedang melintas di langit Filipina. Hujan turun dengan reguler selama gua di sana. Bahkan di hari kedua di Boracay, gua dan Tirta ga bisa ke mana-mana karena hujan turun dengan membabi-buta. Padahal kami udah membuat rencana satu harian penuh. Ke Ariel’s point lah, main di pantai lah, nongkrong di bar lah. Tapi semuanya batal karena hujan turun deras sederas-derasnya deras.
Kebetulan, di lobby hotel ada wifi yang kenceng. Gua memutuskan untuk bermain jejaring sosial. Linimasa Twitter adalah tujuan utama gua pagi itu. Namun ternyata ga ada yang seru. Akhirnya gua meng-klik kolom DM Twitter dan mata langsung tertuju ke pesan paling atas. Pesan tentang penolakan sebuah ajakan menonton stand up comedy tempo hari.
Kebetulan, hari itu adalah hari Natal. Pasti ga terlihat aneh jika gua mengucapkannya selamat Natal kan? Bermodal itulah gua memberanikan diri untuk yang kedua kalinya mengirim DM ke dia. DM sent.
Cukup lama gua menunggu, sampai sebuah notifikasi muncul di layar handphone. Sebuah pesan masuk ke kolom DM. Dari dia. Sebuah ucapan selamat Natal yang sama dan secuil pertanyaan setelahnya, “Lagi di Filipina ya? Have fun!”
Namun bukan itu yang membuat cerita ini terus bergulir. Melainkan sebuah kalimat yang terbaca antusias, yang ia letakkan di penghujung pesan, “Nanti cerita ya gimana perjalanannya!”
Dan kebetulan, gua punya blog.
Sejak hari itu, kami menjalin komunikasi dengan rutin. Saling mengucapkan selamat tahun baru, menyemangati di lelahnya hari, dan melempar bahan bercanda untuk ditertawakan bersama. Sekali-dua kali, gua dan dia menyempatkan diri untuk bertukar kabar melalui telepon selama berjam-jam.
Semua obrolan itu membuktikan satu hal. Kami nyambung. Tapi kami sama sekali belum pernah bertemu. Semua itu bisa aja buyar atau berbeda saat kami bertemu. Pertemuan akan menjadi krusial. Sangat sangat sangat krusial.
Kebetulan, Jumat itu ia lagi pusing dengan kerjaannya di kantor. Tumpukan faktur pajak membuat otaknya jenuh. Ia jadi ingin menghibur diri Sabtu besok dengan menonton Chinese Zodiak yang baru aja rilis.
Kebetulan, gua juga lagi ga ada kerjaan. Jadilah gua menawarkan diri untuk menemani. Akhirnya kami janjian untuk bertemu di sebuah mall di Jakarta Selatan untuk nonton film terbaru Jacky Chan itu. Dengan polo shirt dan celana jeans, gua pun berangkat ke tempat yang udah dijanjikan. Meski terlambat 15 menit, akhirnya gua ketemu dia.
Komen pertama yang melintas di kepala adalah, “Anjir! Cakep banget! She is out of my reach!”
Gua ga pede. Minder. Bawaannya pengen menyudahi pertemuan hari itu. Obrolan pun banyak terjadi satu arah. Dia bicara, gua mendengarkan. Semua kenyambungan yang pernah terjadi via telepon bagai hilang begitu aja ketiup angin. Gua grogi setengah mati.
Tapi janji udah kadung dibuat. Minimal gua harus menyelesaikan satu film ini sebelum menyudahi semuanya. Film selesai, kami pun lanjut ngemil sebentar sambil gua terus berujar dalam hati, “Setelah beres makan, gua harus nganterin dia pulang ke rumah. Harus.”
Kebetulan, rumahnya kosong hari itu. Membuatnya malas pulang dan ingin bermain lebih lama di luar. Rencana gua untuk langsung nganterin dia pulang pun runyam sudah. Sempat bingung mau ngapain lagi, sampai gua teringat salah satu topik yang pernah kita obrolin di telepon. Tempat nongkrong favorit.
Spontan, gua mengajaknya ke Cikini. Ia mengangguk setuju karena ia sendiri belum pernah main ke sana. Dalam hati gua berharap ia ga suka dengan Cikini, bosan, dan minta diantar pulang setelahnya. Terdengar seperti rencana yang cihuy kan?
Kami pun berangkat ke Cikini. Sepanjang perjalanan, komunikasi masih terjadi satu arah. Dia bicara, gua hanya diam mendengarkan dengan dalih harus fokus nyetir mobil. Padahal diam-diam berdoa semoga orang rumahnya cepet pulang sehingga gua bisa nganterin dia balik. Sekilas ini seperti buang-buang waktu karena dalam hati gua yakin, dia ga bakal mau sama gua.
Kebetulan, hari itu macet banget dan dia mulai kehabisan bahan pembicaraan. Perjalanan yang bisa ditempuh dalam 1 jam, belum menunjukkan tanda-tanda akan sampai setelah melewati batas waktu itu. Mau ga mau, gua mulai angkat bicara juga. Topik yang gua angkat banyak seputar tulisan-tulisan yang pernah gua publish di blog. Sejak gua kasih tau tentang blog gua di Filipina, ia jadi sering baca dan ternyata sangat suka dengan blog itu.
Obrolan menjadi nyambung karena banyak pemikiran gua dan dia yang ternyata sama. Pembicaraan pun melebar hanya untuk menemukan bahwa lebih banyak lagi hal-hal yang sepaham antara gua dan dia. Kenyambungan yang sempat putus, kini terjalin kembali. Sekitar dua jam kemudian, kami tiba di Cikini.
Kebetulan, malam itu hujan turun rintik-rintik. Gua dan dia jadi berdiri sangat dekat di bawah lindungan payung yang gua bawa. Saling berpegangan tangan, menghindari genangan-genangan air di jalanan. Berlari-lari kecil untuk berteduh ke dalam sebuah kedai kopi sambil menunggu hujan reda.
Ia memesan secangkir teh, sementara segelas coklat untuk gua. Di antara cangkir dan gelas itu, diskusi-diskusi hangat tercipta. Tentang anak muda yang salah gaya, tentang kasih orang tua yang sepanjang masa, atau tentang cerita cinta yang pernah singgah.
Jam demi jam terlewat sampai akhirnya malam yang harus menyudahi semuanya. Sepiring sate dan sebotol teh dingin ga jauh dari rumahnya, menjadi salam perpisahan yang mengeyangkan. Sepanjang perjalanan pulang, gua menginjak pedal gas pelan sekali. Berharap masih ada aspal yang bisa ditempuh. Berharap jarum jam berdetak ke arah kiri. Berharap perjumpaan ini bisa sedikit lebih lama lagi.
Sialnya, hanya butuh belasan menit untuk tiba tepat di depan rumahnya. Gua mengantarnya sampai ke depan pintu. Lalu sama-sama mengucap salam perpisahan dan keinginan untuk melakukan apapun itu yang terjadi hari ini. Dua senyum terukir dan sejak saat itu gua tau, hati ini telah menetapkan pilihan.
Malam semakin tua. Gua harus pulang ke rumah. Di perjalanan kembali menuju mobil, gua berpikir sejenak kemudian tertawa dalam hati.
Membayangkan apa jadinya jika akhir tahun lalu… gua memutuskan untuk traveling membelah pulau Jawa naik kereta.
—
“Coincidence is God’s way of remaining anonymous.” – Albert Einstein
