Salah satu kegiatan baru yang mulai gua lakukan di tahun 2015 ini adalah rutin berlari. Sebetulnya, ini melakukan kembali, karena di tahun 2013 lalu, gua sempat rutin berlari… di beberapa bulan awal. Resolusi ini kemudian dengan gilang gemilang tewas di tengah jalan.
Sebetulnya rutin berlari udah jadi resolusi gua setiap tahunnya. Sebuah resolusi yang akhirnya selalu bergeser ke tahun berikutnya karena gagal dipenuhi. Rutin berlari adalah resolusi tahun 2015 yang gagal dipenuhi di tahun 2014 yang sempat dimulai di tahun 2013 yang pernah dicanangkan di tahun 2012. Procrastination at its finest.
Tujuan awal gua berlari adalah untuk mengecilkan perut yang terus maju tanpa disuruh. Banyak celana gua yang udah makin sempit gara-gara lingkar pinggang yang terus membesar. Maka, di tahun 2012, gua memtuskan untuk berlari, sebuah olahraga yang gua asumsikan paling murah di antara cabang olahraga lainnya.
Sebuah asumsi yang segera dipatahkan ketika gua ingin membeli sepatu lari.
“Mas, yang ini berapa nih?”
“Oo, itu satu juta, Pak,” jawab si Mas, santai.
“Sa-satu juta?” Gua menelan ludah.
“Iya, Pak.”
“Selain bisa buat lari, sepatu ini bisa dipake buat apa lagi? Bisa buat ngangetin nasi?” tanya gua, dalam hati sambil beralih ke sepatu lain, “Kalo yang ini berapa, Mas?”
“Yang ini satu juta setengah, Pak… Lho, Pak? Kok nyetopin bajaj, Pak? Mau ke mana, Pak? Pak?”
Sepatu lari mahal-mahal, bro!
Sempat terlintas ide untuk berlari dengan beralas daun pisang, sebelum akhirnya gua memutuskan untuk membeli sepatu lari di pertengahan tahun 2012. Gua menyenangkan diri sendiri dengan bilang bahwa sepatu lari ini adalah sebuah investasi. Namun ibarat main saham, investasi gua kali itu berbuah rugi karena dua bulan kemudian, gua berhenti berlari.
Gua pun kembali bingung dengan celana yang semakin sempit. Ke kantor jadi ga nyaman. Tapi beberapa minggu kemudian, gua udah menemukan solusi cerdasnya. Gua membeli celana baru. Cerdas bukan?
Tahun 2013 dan 2014, rutin berlari masih terpampang di daftar resolusi gua, meski sekalipun ga pernah terjadi. Sepatu mahal yang sempat terbeli, jadi seperti barang rongsokan yang ga terpakai.
Namun awal tahun 2015 ini, semangat untuk berlari kembali membara. Selain demi celana yang muat kembali, gua makin merasa bahwa tubuh ini ga sefit 4-5 tahun yang lalu. Puncaknya, tahun kemarin frekuensi gua sakit semakin sering. Ini ga boleh dibiarkan terus terjadi.
Maka, dengan tekad sebulat perut, maka gua memutuskan untuk kembali berlari.
Kebetulan, temen-temen kantor gua lagi punya resolusi yang sama. Kebetulan lagi, kantor gua deket banget sama Gelora Bung Karno (GBK), area yang pas banget untuk lari sore-sore. Ini seperti mestakung. Semesta mendukung. Atau lebih tepatnya, mestakungwaturibipetrus. Semesta mendukung gua untuk lari biar cepet kurus.
Awalnya hanya tiga orang yang komit untuk lari, namun bertambah menjadi lima setelah tau di dekat GBK ada tukang bubur yang lumayan enak. Maka kami, lima orang karyawan gembul ini pun membuat supporting group yang bernama Indo Half Runner. Karena yang setengah pingin lari, setengahnya lagi pingin bubur.
Setelah diskusi yang alot tentang hari apa, akhirnya diputuskan bahwa setiap Senin – Kamis kami berlima akan lari di GBK. Diskusi berikutnya adalah, targetnya mau berapa puteran?
Seorang teman yang dulunya pelari ulung mengusulkan untuk lari 15 putaran atau kurang lebih 15 kilometer. Gua menolak dan bilang satu-satunya alasan gua bisa berlari 15 kilo sehari adalah jika ada macan kumbang yang mengejar gua di belakang.
Maka target pun diturunkan. Usul berikutnya adalah 10 putaran. Lagi-lagi gua menolak dan beralasan daripada lari 10 kilo berkeliling, mending lari 10 kilo lurus. Karena jika 10 kilo lurus per hari, maka dalam 14 hari, dapat dipastikan gua udah sampai Bandung dan lagi makan cilok di depan Unpad.
Setelah perdebatan yang alot, di mana gua banyak menolaknya, maka diputuskan sebagai target awal kami akan lari berkeliling sebanyak tiga putaran. Sebuah target yang cukup realistis bagi gua dan betis gua.
Target gua pribadi ga bombastis. Gua ga mengharuskan diri gua berlari tiga putaran di bawah 15 menit, atau bisa berlari dengan kecepatan yang stabil. Sebagai pelari yang baru memulai debutnya kembali, gua hanya menargetkan bisa berlari sebanyak 3 puteran lalu pulang masih dalam keadaan hidup. Itu aja.
Kamis, tanggal 15 adalah hari pertama gua dan dua orang teman (jangan ditanya yang dua lagi ke mana) mulai berlari di Senayan. Setelah berganti baju di kantor, kami pun berjalan kaki ke arah Senayan. Pemanasan sebentar sebelum akhirnya mulai melangkahkan kaki.
Sambil berjalan pelan, gua menggenggam smartphone. Memasang earphone ke telinga dan mendengarkan playlist lagu-lagu beritme tinggi yang sengaja gua atur dari pagi. Sebelum mempercepat langkah, gua memperhatikan foto yang jadi wallpaper smartphone gua setahun terakhir ini.
Foto si pacar.
Ada satu alasan lagi kenapa gua memutuskan untuk rutin berlari kembali di tahun 2015 ini. Akhir tahun ini, gua akan menikah.
Itu artinya, kurang dari setahun, gua akan menjadi suami. Menjadi kepala keluarga dan tulang punggung. Dan nantinya, menjadi orang yang dipercayakan untuk menjaga kelangsungan hidup beberapa orang. Beberapa orang yang disebut keluarga.
Gua hanya ingin bisa lebih sehat dari tahun sebelumnya.
Demi celana yang muat kembali. Demi sepatu yang terpakai lagi. Demi mereka yang gua sayangi.
Dan gua pun mulai berlari.
—
“You don’t just have to die for the people you love. You need to live for them too.” – Anonymous
