Gua termasuk pria yang terlambat bisa nyetir mobil dibanding teman-teman sebaya gua waktu itu. Saat teman-teman SMA gua udah bisa wara-wiri naik mobil pribadi, gua masih asik teriak, “BAJAJ! WOY! BAJAJ!”
Atau bilang, “Gua rasa cukup sampai di sini” ketika gua pulang nebeng temen.
Gua baru lancar nyetir mobil itu setelah lulus kuliah. Karena menurut gua, salah satu hal yang perlu dipersiapkan setidaknya sampai selepas kuliah adalah bisa nyetir mobil sendiri ke mana-mana. Tujuannya biar gua menjadi mandiri sepenuhnya, ga nyusahin orang rumah, temen, ataupun supir bajaj di pengkolan. Makanya, sambil nunggu panggilan wawancara kerja, gua menyempatkan diri untuk mendaftar sekolah mengemudi di dekat rumah.
Setelah beres mendaftar dan membayar uang registrasi, gua pun dikenalkan dengan guru yang akan menemani gua selama 6 kali pertemuan. Seorang bapak-bapak yang berumur 40an dengan kumis setebal kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Macupicu. Sepertinya, guru mengemudi gua ini galak.
“Pagi, Pak. Nama saya Roy.”
“Suratno,” jawabnya, tanpa senyum, tanpa basa-basi.
“He he he.”
“Udah bisa nyetir sebelumnya?”
“Kalo udah bisa mah, sekarang saya lagi jalan-jalan ke Bandung nyetir sebelah tangan, Pak. Bukan di sini,” jawab gua dalam hati, “Udah, tapi dikit, Pak. Dikit doang. He he he.”
Dia pun langsung melengos keluar tanpa merespon jawaban gua yang terakhir. Pengen rasanya gua sambit pake asbak biar dia nengok, tapi gua teringat kumisnya yang setebal Kamus Macupicu. Gua pun hanya bisa mengekor keluar ruangan.
Begitu masuk mobil, gua duduk di kursi pengemudi dan Pak Suratno di kursi penumpang. Lalu karena menunggu instruksi, gua pun diem aja. Pak Suratno juga diem. Kita sama-sama diem. Untung ga saling berpandang-pandangan. Yang ada, gua malah berharap waktu itu ada meteor yang dengan kasualnya jatuh ke bumi. Biar gua ada bahan obrolan.
“Wah, Pak, ada meteor jato noh!”
Tapi karena ga ada meteor yang sedang jatuh, jadi ya, gua memulai pembicaraan lagi. Daripada suasana semakin hening dan situasi semakin kikuk.
“Terus ini kita ngapain ya, Pak?” tanya gua, sambil berharap bahwa bercumbu bukanlah jawaban yang akan dilontarkan oleh Pak Suratno.
Pak Suratno menoleh ke gua dengan tatapan yang seolah-olah berarti “yaelah”. Lalu ia menjawab, “Ya di-starter dong mobilnya. Gimana sih? Katanya udah bisa nyetir?”
“Kan dikit, Pak. Dikit doang. He he he.”
Yang pertama dia ajarin ke gua adalah soal tempat duduk. Dia bilang banyak pengemudi pemula yang begitu mobil nyala langsung jalan aja. Padahal sebaiknya, sebelum mulai mengemudi, pastikan dulu posisi duduk kita udah enak. Jarak kaki ke pedal gas dan rem udah sesuai. Selain itu, gua harus pastikan posisi kaca spion kanan kiri dan tengah udah sesuai dengan posisi mata pengemudi.
“Spion tengah ini buat apa ya, Pak?” tanya gua yang masih awam.
“Katanya udah bisa nyetir? Tapi kok ga tau?” tanyanya, ketus.
“Kan dikit, Pak. Dikit doang. He he he.”
“Ck. Ini untuk ngecek kondisi di belakang mobil kamu.”
“Ooo, dulu saya kira ini cuma ada di angkot. Dan spion ini dipake buat ngecek angkotnya udah penuh apa belom.”
“…”
Petualangan gua mengemudi didampingi guru resmi dimulai saat persneling masuk ke posisi gigi satu. Tanpa banyak suara, Pak Suratno mengarahkan gua untuk ke Kemayoran, sebuah daerah dengan jalan yang banyak lurusnya dan terbilang cukup sepi.
Sebagai pelajaran awal, gua diminta untuk memacu mobil dengan pelan. Hanya main di gigi satu dan dua. Gigi satu, gigi dua, lalu berhenti. Kecepatan maksimal yang diperbolehkan oleh Pak Suratno hanya di 20 kilometer per jam. Begitu udah mulai cepat sedikit, gua pun diminta berhenti. Dan mulai lagi dari posisi gigi netral.
Karena begitu-begitu aja, dan merasa udah lancar, gua pun merasa bosan. Kok ya gas rem-gas rem mulu? Kok ya gigi satu-dua terus? Kapan ngebutnya nih?
Setelah satu jam berlatih hal yang sama dan melihat gua sepertinya udah bisa, akhirnya Pak Suratno memperbolehkan gua untuk naik ke gigi tiga. Dalam hitungan menit, gua diminta lagi naik ke gigi empat. Akhirnya, mobil melaju di atas 20 kilometer per jam juga. Ini dia yang gua tunggu-tunggu dari tadi. Momen untuk memacu mobil secepat mungkin.
Sekitar sepuluh menit berikutnya, saat gua sedang asik menekan pedal gas, ada sebuah polisi tidur yang melintang di jalan. Karena belum tau gimana melambatkan mobil di kecepatan seperti ini, polisi tidur itu gua hajar aja.
BRAK!
“Stop! Stop!” teriak Pak Suratno.
Kaget. Seketika itu juga, gua mengangkat kaki dari pedal gas dan memindahkannya ke pedal rem. Mesin mobil langsung mati.
“Kamu tuh ya! Saya kira udah lancar! Tadi pas gigi satu dan dua rem bisa! Tapi begitu agak kenceng dikit malah ngawur! Mobil bisa rusak kalo dihajar gitu!”
“Ma… maaf, Pak. Saya pikir tadi bisa…”
“Bisa apa?” potong Pak Suratno, “Polisi tidurnya bisa bangun sendiri gitu?
“Bukan begitu, Pak. Tapi…”
“Katanya udah bisa nyetir?”
“KAN DIKIT, PAK! DIKIT DOANG KELEUS!” teriak gua. Tapi dalam hati.
Gua lalu diminta menyalakan mobil lagi, untuk menepikannya di pinggir sebuah jalan yang sepi. Sambil berdoa semoga gua ga dibuang di tengah jalan, gua menuruti instruksi Pak Suratno. Setelah menepi, Pak Suratno meminta gua untuk mematikan mesin mobil dan mengajak gua untuk berbincang sebelum memulai pelajaran kembali.
“Saya bilangin ya,” ujar Pak Suratno, “Orang yang nyetirnya hebat itu, bukan yang bisa ngebut. Bukan orang yang jago-jagoan mentokin kemampuan mobilnya. Karena saat itu, bukan kita yang mengendalikan mobil. Tapi kita malah lepas kendali.”
Pak Suratno mengambil jeda sejenak.
“Orang yang nyetirnya hebat itu, justru yang bisa ngerem. Yang tau kapan harus melambat, sambil melihat-lihat. Yang tau kapan mesti ngebut dan kapan harus berhenti. Karena itu artinya, kita bisa mengendalikan mobil sepenuhnya. Paham?”
Sampai hari ini, ucapan Pak Suratno itu masih menempel di kepala gua. Bukan hanya sebagai panduan setiap kali gua nyetir mobil, tapi juga sebagai pengingat untuk gua saat sedang menjalani hidup.
Karena menurut gua, dalam hidup pun juga begitu.
Orang-orang hebat bukanlah mereka yang jago-jagoan mempertontonkan kesuksesan. Bukan mereka yang lari terpacu demi tepuk tangan dan pujian orang sekitar. Karena itu artinya, kita telah kehilangan kendali atas hidup kita.
Tapi orang-orang hebat adalah mereka yang tau kapan harus melaju kencang dan kapan harus gerak melambat. Adalah meraka yang bisa mengatasi rintangan, tanpa perlu menghajarnya kencang-kencang. Adalah mereka yang mampu berhenti dan menikmati hidupnya sendiri.
Karena orang-orang hebat, adalah mereka yang bisa ngerem.
