Apa yang lebih susah dari nyari parkir di Citos saat malam minggu?
Bagi gua dan si pacar, jawabannya adalah nyari vendor yang menyanggupi ide foto prewedding kami berdua.
Semua bermula ketika kami sedang membahas betapa mirip dan seragamnya foto prewedding yang sempat kami lihat di beberapa resepsi terakhir. Salah satu yang paling sering kami lihat adalah foto si pasangan bersepeda di pinggir pantai Pulau Seribu sambil menunjuk-nunjuk langit. Sebuah foto yang sempat membuat gua sangat ingin ke Pulau Seribu karena penasaran, sebenarnya apa sih yang ditunjuk-tunjuk? Babi terbang?
Gua dan si pacar lalu sepakat untuk membuat foto prewedding yang beda jika kami mempersiapkan pernikahan nanti. Dan hari itu telah datang. Sekitar tujuh bulan lagi kami akan menikah, dan saat ini, kami sedang mempersiapkan resepsi pernikahan kami.
Untungnya, gua dan si pacar memiliki paham yang serupa dalam menyiapkan resepsi pernikahan. Bahwa daripada bermahal-mahalan di catering, lebih baik bermahal-mahalan di paket prewedding.
Karena kalo catering, yang makan nasinya itu para tamu. Udah gitu, dalam hitungan hari bakal jadi feses. Tapi kalo hasil foto prewedding kan buat kita. Bisa disimpen tahunan pula. Makanya, gua dan si pacar memutuskan untuk bikin foto prewedding dengan konsep yang beda dari kebanyakan, meski itu artinya harus merogoh kocek sedikit lebih dalam.
Namun sayangnya, ga gampang nyari vendor yang bisa menuhin maunya gua dan si pacar.
Waktu kami ke wedding expo, dari puluhan vendor foto prewedding, ga ada satupun yang menyanggupi ide kami berdua. Ada yang begitu kami jelaskan, langsung bilang ga bisa. Ada yang coba mencerna, lalu menawarkan sebuah ide yang lebih gampang.
“Jadi bisa ga, Mbak?”
“Naik sepeda sambil nunjuk langit aja gimana?”
“…”
Susahnya lagi, yang sedang happening belakangan ini adalah foto prewedding di Bali atau bahkan luar negeri. Ada yang spesialisasinya foto prewedding di Singapura, Jepang, bahkan Amerika Serikat. Gua sempet mikir, ini vendor foto apa travel agent?
Salah satu vendor yang kami kunjungi malah setengah maksa agar kami melakukan prewedding di kota yang menjadi destinasi andalannya.
“Konsep kami sih kayak gitu,” jelas si pacar, “Kira-kira bisa ga ya?”
“Hmmm. Bagusnya sih ini foto di Bangkok nih.”
“Ga mesti Bangkok sih. Latarnya di tanah lapang biasa aja bisa sebenernya,” jawab gua, coba menekan biaya dengan menyarankan lokasi yang lebih dekat dengan Jakarta.
“Tapi di Bangkok tuh ada lapangan yang bagus banget deh.”
Lalu dia menunjukkan sebuah foto via tablet yang ditopang gadget stand warna-warni. Pas gua lihat, foto itu ga keliatan Bangkok-nya sama sekali. Kalo dia ga bilang ini di Bangkok, gua akan mengira foto itu dilakukan di lapangan daerah Cicaheum.
“Ya udah,” lanjut gua, “Kalo gitu ga usah yang tanah lapang deh. Yang foto latar rumah aja. Bisa?”
“Ooo, bisa-bisa. Saya tau satu rumah yang bagus banget, cocok buat foto konsep kalian nih.”
“Oya? Di mana?”
“Di Bangkok.”
“…”
Jangan-jangan kalo gua mau foto boker di WC, dia juga rekomennya WC di Bangkok nih. Emang kalo di Bangkok, eek gua jadi lebih fotogenic apa gimana sih?
Tapi gua dan si pacar belum mau menyerah. Di wedding expo kesekian, akhirnya kami ketemu juga vendor yang sepertinya bisa memenuhi konsep foto prewedding kami. Mereka terlihat antusias saat gua dan si pacar membeberkan ide kami. Portfolio mereka juga oke. Produk unggulan mereka berupa video prewedding dengan ide yang unik dan eksekusi yang jempolan. Ini dia nih yang kami cari selama ini.
“Karena lagi pameran, kami ada paket promo. Kalo kalian ambil paket video prewedding, bakal dapet bonus paket foto prewedding gratis lho!”
Mendengar promo kayak gitu, jiwa kelas menengah ngehe gua langsung bangkit. Kapan lagi beli 1 dapet 1 kayak gini? Namun, polemik pencarian vendor prewedding ternyata ga selesai sampai di sini. Harga yang mereka tawarkan dua kali lebih besar dari budget kami.
“Itu udah termasuk video plus foto. Oke bangetlah harganya,” lanjut si vendor, “Jadi, gimana?”
Gua dan si pacar hanya saling berpandangan. Ada gurat-gurat senang bercampur sedih yang terpancar dari wajah kami berdua. Senang, karena akhirnya ketemu juga vendor yang menyanggupi ide kami. Namun sedih karena ternyata budget kami ga cukup.
We know this is what we want. This is what we have been looking for. This is it. But unfortunately, this is too much for us. Way too much.
Perang batin terjadi. Otak terus mendorong agar gua nekad mem-booking si vendor karena toh, momen prewedding ini hanya sekali seumur hidup. Tapi hati kecil seperti menahan dengan berulang-ulang bilang, “Sabar. Tunggu dulu”. Dalam satu hembusan napas, akhirnya gua membuat keputusan.
“Kami pikir-pikir dulu ya. Nanti kami balik lagi deh kalo misalkan jadi,” kata gua memecah keheningan yang sempat menggantung sebelumnya.
Setelah berpamitan dengan si vendor, gua dan si pacar beranjak dari booth mereka dengan perasaan yang ga enak dan langkah yang lunglai. Otak kembali memaksa untuk segera bayar tapi hati kecil masih terus bersuara. Alhasil, gua hanya berjalan pelan, setengah berharap dipanggil lagi, “Koh! Koh! Koh! Jadi deh, Koh. Mau ambil berapa, Koh?”
Namun, gua harus legowo. Tuhan mungkin punya rencana lain.
Minggu berganti minggu, gua dan si pacar belum berhasil juga menemukan vendor yang sanggup namun dengan budget yang sesuai. Nyaris putus asa, gua mulai mempertimbangkan opsi yang lebih mudah. Bersepeda sambil menunjuk langit kini terdengar sangat rasional buat gua.
Saat gua sedang berlatih gerakan menunjuk langit, lampu notifikasi handphone berkedap-kedip. Via messenger, si pacar ngabarin kalo vendor yang menyanggupi kemarin itu sedang mengadakan sebuah kuis. Hadiah utamanya berupa paket foto prewedding yang konsepnya mirip-mirip dengan yang pernah kami ajukan dulu.
“Kamu ikutan aja gih. Iseng-iseng berhadiah,” kata gua.
“Iya nih!” jawab si pacar, semangat.
“Tapi nothing to lose ya.”
“Iya deh…”
“Ya udah. Sini yuk, kita latihan nunjuk langit bareng.”
Si pacar yang awalnya semangat dan ngarep banget, sempat lesu karena yang ikutan semakin banyak, dan menurutnya, lebih bagus dari punya dia. Gua mengusap-usap punggungnya, mengingatkan kembali janji saat awal mau ikutan dulu. Nothing to lose. Si pacar hanya mengangguk kecil, pelan-pelan melepaskan harapannya untuk menang kuis.
But sometimes, the best thing comes when we least expect it.
Seminggu kemudian, saat gerakan menunjuk langit gua udah terlihat sangat natural, saat gua mulai berpikir jangan-jangan menunjuk langit adalah bakat terpendam gua, si pacar mendapat sebuah kabar yang membuat dia berteriak kencang tanpa henti.
“Oh my God, aku menang! AKU MENANG!”
Iya, si pacar menang kuis yang diadakan vendor tempo hari. Paket prewedding yang kami impikan, sekarang bisa kami dapatkan cuma-cuma. Konsep yang kami inginkan, kini bukan sekedar angan-angan.
Gua hanya bisa tersenyum sambil mengucap syukur dalam hati. Menunjuk langit, namun kali ini, untuk satu alasan yang jelas.
“I know it’s You. Thank You.”
