Quantcast
Channel: 「ユース カジノ」 プロモーションコード 「ユース カジノ」 出金 「ユース カジノ」 出金条件
Viewing all articles
Browse latest Browse all 283

Selagi Bisa

$
0
0

Gua pernah heran, dari mana asal muasal sifat nekad gua?

Karena bisa dibilang, gua ini orang yang suka bertualang. Suka pergi ke tempat-tempat yang belum pernah didatengin, nonton pertunjukan yang orang jarang pilih, atau nyobain makanan-makanan baru yang bisa aja bikin sakit perut. Dan itu semua beda banget sama Papa dan Mama gua.

Terutama Papa. Beliau kalo makan, menunya ya itu lagi-itu lagi. Kalo nonton, nunggu pendapat orang-orang yang udah nonton dulu, baru dia mau ikutan nonton. He’s playing safe.

Udah gitu, beliau lebih suka menghabiskan waktu di rumah, beristirahat jika sempat, atau mengurusi bagian-bagian rumah yang perlu diurusi. Nyapu halaman, ngerapihin genteng, atau ngereparasi pemutar audio yang ia koleksi. Papa benar-benar orang rumahan, sementara gua suka bertualang.

Salah satu petualangan terseru gua adalah waktu jalan kaki sejauh 5 kilometer. Hari itu lagi ada demo hari buruh sehingga jalanan Jakarta benar-benar macet total. Bus dan mobil-mobil bagai parkir di tengah jalan, hanya bisa menunggu pasrah jalanan untuk terurai. Daripada membuang waktu dengan naik angkot yang terjebak macet, akhirnya gua memutuskan untuk berjalan kaki dari kantor gua sampai ke jalanan yang sedikit lebih lapang untuk mencari ojek atau taksi. Begitu sampai rumah dan menceritakan hal ini, gua diomelin sama Papa.

Gua juga suka beli tiket traveling mendadak. Kayak waktu ke Filipina akhir tahun 2012, atau ketika gua secara impulsif melakukan perjalanan ke Kuala Lumpur untuk menonton Liverpool. Gua orangnya nekad, tapi Papa tidak.

Makanya gua sempat heran, dari mana sifat nekad ini berasal?

Namun akhirnya semua itu terjawab di sebuah Sabtu siang, saat pacar sedang main ke rumah gua. Saat Papa dan Mama mengajak pacar untuk makan malam bersama di rumah.

“Om pesenin gurame asem manis ya. Ini enak banget lho! Kita udah sering makan ini!”

Tuh kan. Menunya itu lagi-itu lagi.

Ga lama, pesenan pun datang, dan makanlah kami semua. Gua, pacar, Papa, Mama, kakak gua dan istrinya, duduk berenam di ruang makan menghabiskan gurame asem manis dan sayur lainnya. Meski duduk sempit-sempitan, tapi kami tetap makan dengan lahap. Ga peduli betapa kurang nyamannya, yang penting bisa makan bareng-bareng. Papa memang menanamkan nilai ini sedari kami kecil. Makan ga makan, asal ngumpul sekeluarga. Family comes first.

Papa juga lebih suka makan malam di rumah daripada makan di luar. Selain lebih murah (haiya), Papa ingin segera bisa beristirahat sehabis makan.

Namun malam itu, selesai makan malam, Papa ga langsung kembali ke kamarnya. Ia malah asik bercerita tentang masa mudanya ke pacar. Katanya, dulu beliau sering bersepeda dari rumahnya di daerah Palmerah untuk berkeliling Jakarta bersama teman-temannya. Mulai dari berenang di Manggarai, jalan-jalan ke Senayan, atau hanya sekedar bermain-main di Kwitang.

Pacar hanya bisa tersenyum sambil beberapa kali menimpali. Sementara gua duduk di kursi sebelah sambil tertawa ketika Papa melemparkan lelucon andalannya.

Semua keriaan itu membuat gua menemukan jawaban atas dua hal. Pertama, keluarga gua sepertinya menerima dengan baik hubungan gua dengan si pacar. Dan yang kedua, ternyata sifat nekad yang mengalir dalam darah gua itu berasal dari Papa.

Namun, ada pertanyaan yang muncul kembali di kepala. Kenapa sekarang udah ga suka bertualang lagi? Ke mana hilangnya pacuan adrenalin yang dulu mendorongnya berani keliling Jakarta naik sepeda? Mengapa sekarang beliau lebih gemar berdiam di rumah?

Untungnya, ga butuh waktu lama untuk mendapat jawaban atas segala pertanyaan yang muncul barusan. Kali ini, bukan lagi terjawab oleh sebuah cerita masa lalu, melainkan oleh sepotong kalimat yang terucap dengan nada yang sangat pelan.

“Om pamit tidur dulu ya.”

Kini gua tau kenapa petualangan Papa telah berhenti. Bukan karena Papa ga mau bertualang. Tapi karena beliau udah ga bisa lagi bertualang.

Ibarat pelari, Papa telah berlari lebih dari 4 dekade untuk menghidupi keluarganya. Membeli kebutuhan pokok, membayar tagihan rutin, dan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik. Sesekali, uang THR-nya dihabiskan untuk traveling sekeluarga. Waktu dan tenaganya beliau konsentrasikan ke keluarga. Bukan petualangannya lagi yang utama baginya. Now, family comes first.

Ibarat pelari, Papa kini udah mulai lelah memacu kaki. Gurat-gurat tua mulai tampak jelas di dahi dan sekitar pipi. Papa udah ga muda lagi. Dan di hari-hari tuanya, beliau lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, dekat dengan keluarga. Bukan bersepeda keliling Jakarta lagi yang menarik baginya. Now, family comes first.

Dan ibarat pelari, kini Papa telah menyerahkan tongkat estafet yang beliau bawa selama ini ke anak-anaknya. Membeberkan segala cerita petualangannya dan seolah berkata, “Sekarang giliranmu”.

Tongkat itu sekarang ada di gua. Diberikan oleh pria yang telah membesarkan gua dengan semua daya upayanya. Oleh pria yang menjaga gua dari segala bahaya dunia. Oleh pria yang mendidik gua dengan nilai-nilai yang dipercayainya. Nilai-nilai yang sekarang turun ke anaknya.

That family has to come first.

family comes first

Sekarang, gua harus bisa membahagiakan orang tua sebagaimana Papa membahagiakan keluarganya. Mumpung masih ada tenaga yang membuncah di dalam raga, mumpung masih ada waktu yang panjang untuk diperjuangkan. 

Gua akan terus-menerus berusaha untuk mengukir senyum di bibir orang tua. Membuat mereka bangga sampai menepuk dada. Dan pada akhirnya, membahagiakan mereka.

Selagi ada. Selagi bisa.

“Love your parents and treat them with loving care. For you will only know their value when you see their empty chair.” ― Anonymous



Viewing all articles
Browse latest Browse all 283