Quantcast
Channel: 「ユース カジノ」 プロモーションコード 「ユース カジノ」 出金 「ユース カジノ」 出金条件
Viewing all articles
Browse latest Browse all 283

Mendaki Gunung, Lewati Lembah

$
0
0

DISCLAIMER: Catatan perjalanan ini adalah kisah nyata yang terpetik dari #JalanJalanKemiskinan edisi Singapura tahun 2009. Cerita lengkapnya bisa kalian baca di sebuah buku yang sepertinya sih akan terbit ga lama lagi. Enjoy.

“Gunung?”

Gue mengernyitkan dahi ga lama setelah seorang teman menyebutkan tujuan traveling kami di hari Minggu itu.

“Beneran?” tanya gue sekali lagi, sekadar ingin memastikan bahwa telinga gue ga salah dengar. Awalnya gue pengen bilang ‘Ciyus? Miapa?’ tapi tahun kelahiran yang tertera pada KTP melarang gue untuk melakukan itu.

Naya, nama teman tadi, mengangguk dan mengonfirmasi sekali lagi bahwa kami memang akan jalan santai naik gunung. Mungkin ini akan jadi dialog yang biasa saja andai kami sedang berada di Bogor atau kota-kota dengan dataran tinggi sebagai tujuan utama wisatanya. Namun sekarang kami sedang di Singapura! Sebuah negara –yang juga sebuah kota– dengan tujuan utamanya berupa wisata belanja, pantai, theme park, atau apapun. Apapun selain gunung.

“Emang di Singapura ada gunung?”

Mount Faber, begitu jawab Naya. Gunung, well, sebenarnya bukit, setinggi 105 meter ini terletak di bagian selatan Singapura, tepatnya di daerah Bukit Merah. Yang patut dicatat, ketika bertanya arah Bukit Merah kepada penduduk lokal, pastikan menyebutkannya dalam bahasa Melayu. Meski bahasa utama di Singapura itu bahasa Inggris, jangan sekali-sekali menerjemahkan Bukit Merah menjadi Redhill, karena ada daerah lain yang bernama Redhill yang berbeda dari Bukit Merah.

Anyhoo,

Gue traveling ke Singapura bareng 3 teman semasa kuliah: Naya, Yosua, dan Audi. Perjalanan dengan mereka selalu dalam a very tight budget, atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: jalan-jalan kemiskinan. Ketika kami sedang merencanakan akan tinggal di mana selama di Singapura, pilihannya adalah numpang di tempat teman, telentang di mesjid, atau gelar tiker di bandara.

Kebetulan, ada 1 teman yang sedang S2 di Singapura, jadi pilihan menginap pun jatuh ke ‘numpang di tempat teman’. Teman yang S2 itu bernama Tuanku, yang setiap gue memanggil namanya, gue berasa kayak babu. Ia menyewa apartemen di daerah Sengkang yang selama 2 malam akan kami inapi dan gerayangi.

Tujuan jalan-jalan ke Mount Faber juga dalam rangka mengirit budget. Jalan santai naik gunung pasti gratis. Kemungkinan pengeluaran yang terjadi hanyalah ongkos transportasi ke sana, minuman ketika haus, dan biaya rumah sakit jika menggelepar kelelahan.

Tanpa banyak basa-basi lagi, perjalanan menuju gunung di Singapura pun dimulai.

***

Tepat pukul setengah 10 pagi, kami tiba di tujuan… ya sepertinya sih. Sangat sulit untuk memprakirakan apakah kami sudah di dekat objek wisata gunung atau belum di Singapura. Jika di Jakarta, parameternya sangat jelas. Kita sudah ada di dekat objek wisata gunung jika ada tukang gemblong berkeliaran. Sangat sulit untuk membayangkan adanya tukang gemblong dengan dialek bahasa Inggris khas Singapura: Singlish.

“Gemblong, meh?”

“Gemblog, lah?”

Sulit.

Ketika kami sampai tepat di pintu masuknya, ada sedikit keraguan dalam dada. Melihat banyaknya anak tangga membuat keputusan mendaki gunung di Singapura sepertinya bukan ide yang bagus.

Dari bawah sini, yang terlihat hanya rumput-rumput serta deretan anak tangga yang polos. Tanpa ada petunjuk mengenai keriaan seperti apa yang akan kami dapat di atas nanti. Dengan skeptisme yang menjulang, gue pun bertanya, “Naik jangan nih?”

“Tanggunglah. Kita udah sampe sini. Gratis pula. Naik aja yuk!” ujar Naya sambil mengambil langkah pertama.

Lagi, tanpa banyak basa-basi, perjalanan mendaki gunung di Singapura pun dimulai.

***

Kami telah berjalan 30 menit dan percayalah, seperti halnya harga, umur pun ga pernah bohong. Badan gue yang sudah lama ga diajak berolahraga mulai menunjukkan kredibilitasnya sebagai tukang tidur paling ulung. Keringat mengalir deras, napas memburu satu-satu, dan paha pegal luar biasa.

Di 30 menit perjalanan itu hanya ada anak tangga, pembatas jalan, serta rumput hijau. Belum ada tanda-tanda seperti apa puncaknya dan apa yang bisa kami lihat di atas sana nanti. Mungkin pemerintah Singapura ingin menurunkan ekspektasi pengunjung Mount Faber. Jika ada gambar-gambar panorama yang ciamik namun kenyataannya ga seindah yang di gambar, bisa-bisa kami menyangka bahwa sesungguhnya Mount Faber adalah tempat kursus Photoshop.

“Are we there yet?” tanya gue untuk yang kesekian kali.

Di depan mata gue hanya ada deretan anak tangga yang rauwisuwis. Ga kelar-kelar. Di hari Minggu sepagi ini, biasanya gue sedang menikmati kartun pagi. Doraemon, Dragon Ball, ataupun Spongebob. Kali ini, gue malah menjalani soundtrack salah satu film kartun Minggu pagi: Ninja Hattori. Mendaki gunung, lewati lembah!

“I want my Sunday cartoons!” rengek gua.

Untungnya, sepuluh pijakan kemudian, kami sampai juga di puncak Mount Faber… ya sepertinya sih ini puncaknya. Sangat sulit untuk memprakirakan apakah kami sudah di titik tertinggi atau belum. Namun setidaknya, di sini kami bisa melihat pemandangan dengan sangat jelas.

mount faber

Pemandangan dari atas bukit di Singapura sungguh berbeda. Deretan hijaunya daun terselingi warna hitam dan kelabu dari bangunan-bangunan modern yang berdiri ga jauh dari sana. Pohon dan gedung bertingkat seperti berlomba-lomba mengisi langit Singapura. Perpaduan alam dan suasana modern terpapar jelas dari atas Mount Faber. Belum pernah rasanya gunung dan kota metropolitan berada sedekat ini. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata.

Untuk menikmati panorama, terdapat beberapa teropong yang dapat terbuka jika kita memasukkan koin. Karena dalam a very tight budget, akhirnya kami hanya bisa menyipitkan mata agar bisa melihat pemandangan dengan lebih jelas.

“Ada nih! Ada! Ada! Ketemu!” teriak Yosua dengan kegirangan. Kami menghampiri, penasaran. Ternyata, Yosua menemukan teropong rusak!

“Asek! Bisa neropong gratis! Hahahaha!”

Gelak tawa pecah dari mulut 5 pemuda. Betapa kerenya kami sampai-sampai teropong saja cari yang gratisan. Betapa pelitnya kami sehingga memilih satu jam lebih naik bus yang sebetulnya bisa ditempuh hanya dalam 30 menit dengan naik taksi. Betapa bodohnya kami traveling ke Singapura tapi malah naik gunung.

Betapa bodohnya, namun betapa serunya.

Lelah di paha dan kaki pelan-pelan lenyap tergantikan oleh kram perut yang perlu dinetralkan akibat tawa yang terlalu banyak.

Ketika mereka masih sibuk mengintip lewat celah teropong rusak, gue menepikan diri. Memejamkan mata dan menopangkan tangan di pinggang. Mencoba menikmati desiran angin gunung yang berhembus di antara ketiak. Meresapi suara-suara yang tercipta siang ini. Kicauan burung, gesekan ranting-ranting, kendaraan roda empat yang samar terdengar, dan tawa empat traveler asal Indonesia yang menikmati teropong gratisan. Tawa para sahabat yang baru saja berhasil mencapai titik tertinggi dari sebuah gunung di Singapura.

Mungkin benar kata lagu Ninja Hattori.

Mendaki gunung, lewati lembah.
Sungai mengalir indah ke samudra.
Bersama teman bertualang.

Ga masalah mendaki gunung ataupun lewati lembah. Selama sama teman-teman terbaik, traveling ke mana pun rasanya akan seperti petualangan yang seru.

Bukan begitu?

“When you’re in jail, a good friend will be trying to bail you out. But a best friend will be in the cell next to you saying, ‘Damn, that was fun’.” – Groucho Marx.



Viewing all articles
Browse latest Browse all 283