Postingan di bawah ini adalah kisah nyata yang gua alami saat sedang skrispi beberapa tahun yang lalu. Karena banyak kejadian seru, akhirnya gua memutuskan untuk menceritakan pengalaman tadi ke teman-teman kuliah melalui sebuah mailing list. Salah seorang teman kuliah terpingkal-pingkal saat membaca cerita ini dan melakukan satu kegiatan yang akhirnya mengubah jalan hidup gua. Dia menekan tombol reply dan berkata, “Roy, lu kenapa ga bikin blog aja?”
And the rest is history.
Akhir kata, selamat membaca tulisan yang membuat gua menjadi seorang blogger. Sebuah tulisan yang kemudian gua jadikan postingan pertama di blog gua yang lama. Enjoy.
—
Supaya lulus, seorang mahasiswa perlu melewati yang namanya skripsi. Dulu, gua mikirnya skripsi itu mengharuskan gua untuk mendekam di lab, bikin penelitian, dan numbuhin jenggot. Lalu dengan muka sumringah, keluar dari lab sambil berteriak-teriak.
“Gua udah membuat alat yang super canggih!”
“Apaan tuh?”
“Gua bikin rice cooker yang bisa nyuci baju!”
“Wah, hebat!”
“Tapi, ga bisa masak nasi.”
“Itu namanya mesin cuci, lontong.”
Kalo skripsi di Teknik Industri UI sendiri biasanya berupa study-case ke perusahaan. Nantinya, kami akan meneliti sebuah masalah dan harus mampu menawarkan solusi kepada perusahaan tersebut. Jadi, sebagai langkah awal, kami harus menemukan perusahaan yang mengizinkan kami melakukan study-case.
Nah, di sinilah sebuah cerita dimulai.
Gua janjian dengan 2 orang teman: Muni dan Febby. Rencananya, kami mau memasukkan proposal skripsi ke sebuah perusahaan kosmetika ternama di Indonesia. Demi menjaga lestarinya perjalanan karier gua di dunia kerja, maka kita sebut saja perusahaan itu PT. Gincu Ceria.
Gua yang datang lebih dulu masih menunggu di peron stasiun. Ga lama kemudian, Muni pun datang. FYI, untuk meminta izin kepada sebuah perusahaan, kami perlu membawa surat keterangan dari kampus, CV, dan proposal yang menceritakan secara singkat apa yang akan kita kerjakan di sana. Menurut hemat Muni, kami perlu memasukkan semua dokumen itu ke dalam amplop coklat. Maka, gua dan Muni pun beranjak ke warung terdekat. Di saat gua membeli sebuah amplop coklat, Febby datang.
Di dalam angkot, kami bertiga lagi asik bercanda betapa lucunya bawa-bawa amplop coklat. Persis kayak pelamar kerja. Eh, pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata ada Mbak-Mbak yang ikutan naik ke angkot. Dan dia bawa amplop coklat juga!
Perjalanan diteruskan dengan gua, Muni, dan Febbi masih ketawa-ketawa melihat situasi kami yang mirip banget sama si Mbak-Mbak itu. Bawa-bawa amplop coklat dan searah ke PT. Gincu Ceria. 10 menit kemudian, tibalah kami di pintu gerbang PT. Gincu Ceria. Belum habis ketawa, kami sudah dihadapkan sebuah fakta baru: ada puluhan Mbak-Mbak lainnya yang lagi giat berbaris di depan pintu gerbang PT. Gincu Ceria. And guess what, semua bawa amplop coklat. Persis banget kayak kami bertiga!
“Mbak, mau ngelamar kerja juga ya?” Salah seorang mbak yang giat berbaris bertanya ke Febby. Mungkin si Mbak itu terancam oleh bentuk fisik Febby yang mencerminkan intelejensianya. Dan betapa Febby sangat bergizi, sedangkan si Mbak kurus kering. Mungkin jika Febby menjawab ‘iya’, maka Febby akan diikat dan digiring ke atas gunung. Tapi untung kami diselamatkan oleh seorang satpam yang mampu mendiversifikasi kami dari para pelamar kerja.
“Kalian siapa? Mahasiswa ya?”
“Bukan. Saya… SI LUMBA-LUMBA.” Tadinya gua pengen jawab begitu sambil bergaya bak Brondan Prakoso, tapi gua memilih untuk menjawab jujur, “Iya. Saya mahasiswa, Mas.”
Si Satpam lalu menunjuk sebuah pintu, “Langsung masuk saja. Terus tanya sama resepsionisnya.”
Sesuai instruksi Pak Satpam, kami pun berjalan ke arah gedung, yang jika papan logo perusahaannya dicabut, akan sangat mirip sekali dengan hotel mesum atau wisma esek-esek. Di dalam gedung, kami menemukan meja resepsionis, tapi ga ada orang di sana. Setelah berpikir dengan logis bahwa bertanya ke meja hanya akan mengdegradasi tingkat kepintaran, kami pun memutuskan untuk duduk dan menunggu mamalia berbaju memasuki ruangan.
Ga lama berselang, ada Mas-Mas lewat. Sepengetahuan kami, Mas-Mas adalah seorang mamalia walaupun puting susunya ga produktif. Jadi kami berinisiatif untuk bertanya.
“Mas, ruangannya Pak Sahiran sebelah mana ya?” tanya Febby.
“Ruangan Pak Sahiran? Oh, itu. Kalo ga naik ke atas, masuk ke kiri.”
Ya memang sih. Secara kalo dilihat, ruangan itu hanya ada tiga akses: pintu ke kiri, tangga ke atas, atau pintu di sebelah kanan yang ada tulisan EXIT segede-gede umat. Kecuali kalo kami udah lama ngilmu di Banten, jadi bisa nembus tembok. Eh, ga lama si Mas itu nyeletuk lagi, “Oiya, ruangannya kan udah pindah.” Yeah, like I know.
Tiba-tiba bunyi menderu datang dari luar gedung. FYI, gua, Muni, dan Febby datang dengan mengenakan baju yang bisa dibilang rapi. Ternyata Pak Sahiran itu datang dengan gagah memakai sandal jepit, kaos berkerah butut, dan celana kusam ditelan jaman.
Lalu si Mas itu ngomong lagi, “Nah, itu. Pak Sahirannya datang.”
Si Mas berjalan ke arah pintu masuk dan membukakan pintu, “Mari, Pak. Silahkan masuk.” Lalu Pak Sahiran dan si Mas itu melengos, nyuekin kami yang duduk bingung di pojokan kayak ember tetesan air AC.
Akhirnya, kami memberanikan diri mengikuti Pak Sahiran yang masuk ke pintu sebelah kiri. Pintu itu membawa kami ke sebuah ruangan yang besar. Dari ruangan itu, kami membuka satu pintu lagi untuk masuk ke ruangan Pak Sahiran. Di ruangannya, Pak Sahiran menatapi kami satu per satu.
“Kalian ini siapa?”
“SI LUMBA-LUMBA!” Ada apa dengan orang-orang dan pertanyaan kalian-ini-siapa hari ini?
“Kami mahasiswa UI yang waktu itu sudah bikin janji ama Bapak.” Muni menurunkan tensi darah gua yang udah meninggi.
“Janji? Janji apa?” Pak Sahiran mengerutkan dahinya.
“Yang mahasiswa mau skripsian itu lho, Pak.” Giliran Febby yang menambahkan.
“O…”
“Bapak ingat?” potong Muni, tersenyum optimis.
“Ga tuh.”
“…” Gua, Muni, dan Febby menunduk malas.
Tanpa ingin memperpanjang basa-basi, kami membahas tema skripsi kami masing-masing, sambil berdiri. Dia? Duduk. Mungkin dia belum tau temuan paling mutakhir abad ini: KURSI TAMU. Pak Sahiran tampak acuh tak acuh.
Setelah memeriksa amplop coklat kami masing-masing, dia lalu bilang, “Ya bisa-bisa aja. Kuisoner doang kan? Yaa, kalian jalan saja. Nanti kalo butuh surat atau apa baru balik ke sini lagi. Ya, kalo udah jalan 90% lah, kalian boleh balik lagi.”
Muni, yang kebetulan terancam cum laude, mewakili kami untuk menyampaikan aspirasi, “Tapi Pak, kita juga butuh konsultasi dengan pihak perusahaan, terutama bagian marketingnya.”
“Oo, kalo konsultasi ga bisa ya kayaknya.”
Kami bertiga pandang-pandangan. Muni kembali angkat bicara.
“Tapi untuk yang Product Development, kita perlu konsultasi produk apa yang akan dikembangkan. Lalu itu gimana, Pak?”
“Ya, produknya terserah kalian. Terserah lah,” ujarnya sambil ongkang-ongkang kaki. Begh, gayanya penggede banget deh.
‘Terserah-terserah. Ntar kalo gua mengembangkan sarung sekaligus kondom merk Gincu Ceria, baru nyaho lo,’ gumam gua dalam hati. Tensi naik lagi.
Pak Sahiran, yang kalo semakin dilihat semakin mengesalkan dan sangat ingin gua timpa dengan objek berat itu melanjutkan penjelasannya, “Ya kan bisa lipstik, bedak, atau sikolo.”
Sikolo?
Gua, Muni dan Febby, lagi-lagi, lihat-lihatan. Si Kolor gua tau. Sikolo? Apanya si Komo? Atau ini semacam produk baru untuk menyaingi Tje Fuk? Atau ini temuan termukhtahir, kawin silang antara sisir dengan kolor? Ah, gua ga ngerti.
Untuk kejelasan, Muni kembali bertanya, “Sikolo? Psikolog Pak maksudnya?”
“Iya, iya. Si Kolon.”
“Ooo, si Cologne.”
Eaaa. Cologne dengan sikolo! Jauh bener! Ah, dasar Sahiran lo!
“Nah kan kalian bisa tuh. Kalo buat nanya-nanya kayaknya ga bisa,” lanjut Pak Sahiran.
“O, ga bisa.” Kami manggut-manggut.
“Tapi kalian kalau mau jalan, ya jalan saja.” Sahiran melanjutkan pembicaraannya sambil duduk. Kami? Masih berdiri sambil goyang-goyang lutut. Pegel.
“Ya udah deh, Pak. Kalo gitu kami pamit dulu.”
“Ya ya ya,” ujar Pak Sahiran dengan gaya penggede. Duh, gua sebel banget ama dia.
Dengan bingung, lemes, dan ga tau mesti ngapain selain pulang, kami lalu beranjak pergi dari situ. Melewati meja resepsionis, satpam yang mampu mendiversifikasi kami, dan yang paling penting: barisan Mbak-mbak yang lagi sebel ngantri dari pagi sedang kami yang baru dateng langsung masuk dan udah pulang duluan! Sori ya, kita duluan!
Dengan firasat akan diikat dan digiring ke puncak gunung untuk korban setan merbabu, kami bergegas menuju angkot terdekat. Tapi, tepat sebelum kami masuk ke dalam angkot, ada seorang Mbak yang manggil gua.
“Dek, kok udah pulang duluan? Kalian ini siapa?”
“SI LUMBA-LUMBA!”
