DISCLAIMER: Postingan ini merupakan sambungan dari cerita ‘Sendal Jepit Hitam‘.
—
Bisa dibilang, gua menjomblo sepanjang tahun 2012. Ya, 2012 plus plus lah, karena sampai Januari 2013 pun, gua masih berstatus tanpa pacar. Karena itu, tepat pada tanggal 2 Januari 2013, gua membuat sebuah keputusan untuk refleksi diri. Gua merasa awal tahun adalah momen yang tepat untuk melakukan refleksi. Pijat refleksi.
Saat kaki dipencet-pencet, gua pun melamun. Tentang biaya pijat dan uang yang gua bawa, tentang abis ini enaknya makan apa, dan tentu saja, tentang cinta. Tentang apa yang salah dari gua selama setahun kemarin. Kok bisa sama sekali ga dapet pasangan? Gua kurang apa lagi coba? Kurang ganteng, iya. Kurang keren, iya. Kurang pinter, iya. Kurang apa lagi coba?
“WADAW!” teriak gua saat ujung jempol dipencet semena-mena sama si Mas pemijat.
“Ini saraf kepala nih, Mas,” jelasnya tanpa diminta.
Tuh kan. Bahkan gua kurang sehat. Kurang apa lagi coba?
Satu setengah jam refleksi membuat gua menyadari 1 hal. Bahwa mencari pasangan ternyata begitu sulit sampai-sampai saraf kepala gua sakit. Pening euy, pening.
Setelah prosesi pijat selesai, gua pun bayar dan beranjak pulang dengan jempol yang terzolimi. Menunggu angkot lewat sambil sesekali menundukkan kepala dan memijit-mijit tengkuk. Melihat aspal jalanan yang berdebu dan sendal abu-abu yang ada di atasnya. Sendal abu-abu yang sempat gua beli akhir tahun lalu. Sendal abu-abu yang menggantikan sendal jepit hitam butut gua. Sendal abu-abu yang sampai hari ini masih menyendiri.
“Haaah.” Gue menghembuskan napas panjang.
Mungkin, selama ini gua salah mencari.
Gua selalu menyebut mantan gua yang paling banyak kenangan itu sebagai ‘sepatu teplek merah muda’. Itu karena ada satu kenangan manis saat kita baru aja jadian.
Waktu itu, gua yang pake sendal jepit hitam butut jalan-jalan ke taman berdua dengannya. Lalu duduk di atas bangku dan menggoyang-goyangkan kaki seperti sedang di pinggir kolam renang. Tertawa renyah berdua seperti orang gila.
Di tengah hormon bahagia yang bekerja ekstra, ia merebahkan kepalanya ke atas pundak gua dan berkata, “Sepatu sayang sendal.”
Gua pun tersenyum dan membalasnya dengan lembut, “Sendal juga sayang sepatu.”
Ya, tapi itu dulu. Sekarang, gua sedang giat mencari pengganti ‘sepatu teplek merah muda’.
Nah, mungkin di situ masalahnya. Selama ini, gua masih mencari ‘sepatu teplek merah muda’. Mencari sepatu teplek yang merah muda. Mencari dia yang sama. Mencari dia yang… ya, dia.
Ya sesial-sialnya, ‘sepatu teplek’ itu berwarna biru atau ijo armi. Gua kekeuh mencari yang serupa dengan yang dulu. Dan ke-kekeuh-an itu membawa gua bertemu dengan beberapa ‘sepatu teplek’ warna-warni di sepanjang tahun 2012 lalu.
Bermula dengan ‘sepatu teplek putih’ di pertengahan tahun. Si putih ini sempat membuat gua optimis. Bahwa memang ada orang-orang di luar sana yang setidaknya secara fisik mirip dengan si ‘sepatu teplek merah muda’.
Setelah ngobrol beberapa hari, gua pun ngajak ketemuan di sebuah kedai es krim. Ngobrol ngarol ngidul selama 20 menit, diamnya selama 1 jam. Mati angin. Sumpah, mati angin. Coba mencairkan suasana, gua pun bertanya:
“Abis ini enaknya ke mana ya?”
“Pulang.”
“…” Ini adalah momen yang tepat bagi kalian untuk memasukkan emot bersender ke tembok.
Perjalanan mencari ‘sepatu teplek’ membawa gua berkenalan dengan ‘sepatu teplek kuning’. Kegencaran seorang teman SD untuk mengenalkan gua ke si kuning akhirnya membuat gua luluh dan berkenalan juga. Tapi dari awal perkenalan, udah terasa berat. Setiap kali ngobrol di Whatsapp, berakhir dengan… gua ketiduran. Selera jauh beda, hobi utara-selatan, bahan obrolan mentok di film-apa-yang-baru-rilis dan apa-ibukota-Filipina. Runyam.
Hidup terus bergulir dan akhirnya mempertemukan gua dengan ‘sepatu teplek hitam’ yang gaya bercandanya mirip si ‘sepatu teplek merah muda’. Namun baru ketemu sekali-dua kali udah sok-sok ngambek, sok-sok nguji. Dikata ini Dunia Lain apa ya pake uji nyali? Di pertemuan yang keempat, akhirnya gua melambaikan tangan ke kamera. Nyerah.
Gua masih gigih mencari yang serupa dengan ‘sepatu teplek merah muda’. Sampai mendekati akhir tahun, gua berkenalan dengan ‘sepatu teplek merah’. Bercandanya, wawasannya, dan pergaulannya si merah ini mirip banget dengan si merah muda. Gua kira ini dia jawaban doa gua.
Tapi ternyata masih belum rejeki. Dia terdaftar sebagai anggota pasukan gagal move on. Anggota kehormatan pula. Dia memilih untuk balikan sama mantannya. Pffft.
Sambil masih menunggu angkot lewat, gua menghembuskan napas panjang sekali lagi dan berkata, “Susah banget nyari sepatu teplek. Sama kayak nunggu angkot lewat.”
Mungkin, selama ini gua yang salah mencari. Gua masih kekeuh mencari sepatu teplek merah muda yang pernah sayang sama sendal jepit hitam. Padahal… sendal jepit hitam gua udah putus di Filipina. Sendal itu udah gua tinggal di kamar C14 di sebuah hotel di Boracay. Sekarang yang gua punya adalah sebuah sendal jepit baru berwarna abu-abu.
Mungkin, selama ini gua memang salah mencari. Karena seringnya, kita mencari apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita butuhkan. Gua terlalu fokus sama sepatu tepleknya sampai-sampai gua melupakan unsur lain dari ‘sepatu teplek merah muda’.
Sendal jepit abu-abu ini terus menyendiri, berdiri di depan tukang pijat refleksi, menghentikan angkot yang akhirnya lewat, lalu berjuang mencari pasangan di hari-hari berikutnya. Sampai tepat sebulan kemudian…
…dia menemukan sendal jepit merah muda-nya.
