Quantcast
Channel: 「ユース カジノ」 プロモーションコード 「ユース カジノ」 出金 「ユース カジノ」 出金条件
Viewing all articles
Browse latest Browse all 283

Memilih Sendiri

$
0
0

Tahun 2014 adalah tahunnya pesta demokrasi Indonesia. Pada tanggal 9 April nanti, warga negara yang udah berumur di atas 17 tahun boleh nonton film dengan rating dewasa secara legal. Selain itu, mereka bisa ikut Pemilu.

pemilu 2014

Total ada 12 partai politik macam warna dengan ideologi serupa tapi tak sama, bertarung demi titel mayoritas di gedung MPR DPR. Dari 12 partai, hanya ada 1 partai baru milik Pak Brewok, salah satu bos media di Indonesia. Sisanya adalah petarung-petarung lama yang udah menjabat di DPR atau pernah bersaing di pemilu periode sebelumnya.

Setelah beres memilih anggota DPR, sekitar bulan Juli 2014, kita akan dapat libur satu hari lagi untuk ikut berpatisipasi memilih orang yang duduk di kursi nomor satu negeri ini. Iya, kita akan memilih idola Indonesia. Toneng, toneng, toneng, toneng.

Ga deng. Yang bener, di bulan Juli 2014, kita akan memilih Presiden Republik Indonesia.

Pemilihan Presiden 2014 ini akan menarik karena Presiden yang sekarang udah ga boleh mengajukan diri lagi karena udah 2 kali menjabat. Itu artinya di tahun ini kita pasti akan punya pemimpin baru.

Sebagian partai besar udah mengumumkan siapa bakal calon Presiden-nya jauh-jauh hari. Sementara ada juga beberapa orang yang mendeklarasikan diri meski belum tau apa partainya. Mulai dari menteri, akademisi, mantan jendral, bos televisi, raja dangdut, sampai pengacara ngawur yang sepertinya kurang kasih sayang semasa kecil.

Pemilu tahun 2014 menjadi semakin menarik karena akan berlangsung di era digital yang lagi happening. Kampanye di ranah digital pun ga terelakkan. Mulai dari yang puja puji buta demi rupiah, sampai yang mendukung sepenuh hati. Twitter, blog, atau Youtube yang ga dieksploitasi di periode pemilu sebelumnya, jadi primadona baru bagi para bakal calon Presiden serta tim suksesnya untuk mengencangkan promosi diri.

Di era digital yang sedang berkembang ini, alur informasi juga sangat deras dan mudah untuk diakses. Kita bisa dengan mudah mencari informasi tentang seorang calon anggota DPR atau Presiden di dunia maya. Saking terbukanya, lewat social media kita bisa tau Ibu Ani abis foto apa hari ini. Bahkan kita bisa tau di mana Bu Jokowi dan Bu Ahok berada.

Untuk tau rekam jejak seorang calon anggota DPR atau bakal calon Presiden, buka aja Google, terus ketik namanya. Kalo dia emang banyak karyanya, pasti namanya ada di sana sini. Kalo emang karyanya punya imbas baik, pasti berita positif yang mencantumkan namanya bakal mudah ditemukan. Sesial-sialnya, kita bisa nemuin namanya di Facebook, di antara 24 juta pengguna lainnya di Indonesia. Kalo di Facebook ga ketemu juga, mungkin dia pake username “BaMbaN6 yNg xL4Lu tERs4ckiiity…”

Semua begitu dimudahkan. Karena jarak antara tau dan tidak tau tentang seorang calon, kini hanya sejauh mesin pencari di internet.

Tapi sayangnya, di tengah arus informasi yang begitu mudah dan terbuka, masih banyak orang yang malas untuk mencari tau. Ketika jarak antara tau dan tidak tau hanya sejauh klik di tab browser, masih banyak orang yang enggan untuk mencari lebih jauh.

Masih banyak yang lebih suka disuapin informasi. Masih banyak yang menelan bulat-bulat apa kata idolanya. Masih banyak yang lebih suka disodorkan berita siap saji di depan mata. Gua rasa, kalo bisa dibacain, orang-orang tadi juga bakal minta dibacain beritanya sekalian.

Padahal belum tentu berita itu bersih dari opini sang sumber berita. Apalagi jika itu berita negatif tentang kompetitor dari calon yang sumber ini dukung. Berita yang seharusnya informatif, bisa jadi subyektif akibat bumbu opini di sana-sini.

Tapi bisa jadi bukan berarti pasti. Lalu gimana cara memastikannya?

Ya, cari sendiri. Cross check dengan mencari nama yang diinformasikan lewat mesin pencari di internet. Jika ada beberapa situs berita menyampaikan hal yang sama, maka kadar subyektivitas pada informasi tadi akan semakin berkurang.

Analogi gampangnya gini. Mau SMS voting dukungan ke finalis Indonesian Idol aja mesti nonton sendiri biar terbukti emang suaranya bagus, ya masa mau milih Presiden buat 5 tahun ke depan ga mau nyari informasinya sendiri?

Yuk, jangan jadi pemalas, yuk.

Hal ini menjadi krusial karena mereka yang dekat dengan dunia maya dan social media adalah mereka yang datang dari kalangan pemilih muda dan pemula. Berdasarkan survei yang dilakukan Indo Barometer tahun lalu, ada sekitar 64 juta pemilih berasal dari kalangan usia antara 17-30 tahun, dari total 188 juta yang udah terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Itu artinya, kurang lebih ada sepertiga dari populasi merupakan kaum muda yang di dalamnya terdapat pemilih pemula. Ada sepertiga populasi yang bisa ikut menentukan arah perubahan bangsa ini. Ada sepertiga populasi yang suara dan pemikirannya biasa disesaki oleh informasi dari dunia digital dan sosial media. Ada sepertiga populasi yang bisa aja kena dicekoki opini oleh sumber-sumber yang punya kepentingan dan ga bertanggung jawab.

Sepertiga itu gede lho. Makanya seperti yang gua bilang di atas tadi, banyak calon anggota DPR dan bakal calon Presiden yang udah bermain di ranah digital. Karena suara kita sebagai kaum muda begitu berharga. Tapi mari jangan jadikan suara kita begitu mudah untuk didapatkan.

Biarkan aja mereka yang punya opini untuk beropini. Biarkan aja mereka yang punya pengaruh untuk mempengaruhi. Kita harus tetap kuat dan punya pendirian. Kita harus selalu mau dan mampu mencari tau.

Jangan jadi pengikut yang asal nurut. Jangan jadi pendukung yang buta dan terlalu fanatik. Jangan jadi penggemar yang “soalnya idola gue dukung dia, jadi pokoknya gue ikut dukung dia aja”. Jangan jadi pemilih yang pilihannya dipilihin.

Karena ini saatnya bagi kita untuk pintar, dan memilih sendiri.

“Nothing is at last sacred but the integrity of your own mind.” ― Ralph Waldo Emerson



Viewing all articles
Browse latest Browse all 283