Quantcast
Channel: 「ユース カジノ」 プロモーションコード 「ユース カジノ」 出金 「ユース カジノ」 出金条件
Viewing all articles
Browse latest Browse all 283

Tepat Waktu

$
0
0

“Bahasa Inggris-nya biru apa, anak-anak?”

“Blue!”

“Kalau bahasa Inggrisnya buku?”

“Book!”

“Kalau bahasa Inggrisnya tenggelam?”

“Blubuk, blubuk, blubuk…”

Suara itulah yang sedang jadi soundtrack saat mobil gua membelah genangan air setinggi betis orang yang udah siap nikah secara mental dan finansial tapi mungkin belum punya pasangan. Betis orang dewasa.

Memang beginilah resiko mengambil rute penerbangan di awal tahun. Hujan besar yang jadi siklus tahunan Jakarta membuat perjalanan jadi terganggu. Bukan hanya jadwal penerbangan yang delay karena cuaca, tapi perjalanan dari rumah ke bandara pun bisa terhambat karena hujan deras yang sering berbuah banjir di Jakarta. Dan itulah yang saat ini sedang gua alamin.

Gua sedang menerjang banjir demi bisa ke bandara.

Semua bermula ketika gua membeli tiket penerbangan pertama ke Singapura, pukul 7 pagi. Malam sebelumnya, gua pesan taksi agar jemput gua sekitar pukul 5. Kurang lebih dibutuhkan 45 menit dari rumah gua ke bandara saat subuh. Atau 15 menit jika digendong oleh The Flash. Setelah selesai pesan taksi dan packing, gua pun pasang alarm dan memutuskan untuk tidur.

Besoknya, gua bangun tepat pukul 4 pagi. Sialnya, bukan oleh alarm tapi gara-gara bunyi geledek yang kenceng banget. Di luar, hujan sedang turun sederas-derasnya deras. Tapi gua masih optimis kalo hujannya cuma sesaat, karena biasanya hujan besar itu bukan hujan yang awet. Yang awet itu cendol.

Guys, mau ke mana, guys? Buru-buru amat? Itu celananya kok ga dipake dulu? Guys?

Iya, iya, yang tadi itu dawet. Oke, lanjut ya.

Setelah mandi dan bersiap, yang gua lakukan berikutnya adalah duduk manis, menunggu pesanan taksi gua datang. Tapi setelah lewat 5 menit dari waktu yang dijanjikan, gua langsung inisiatif nelpon pangkalan taksi.

“Maaf, Pak,” jawab suara di ujung telpon, “Ga ada taksi yang mau ke sana. Banjir, katanya.”

Banjir? Gua buru-buru keluar dan melongok ke balik pagar. Meski hujan besar, di depan rumah gua masih terlihat becek-becek doang. Gua pun menjawab, “Pak, di sini ga banjir. Hujan sih. Tapi ga banjir.”

“Banjir, Pak.”

“Bentar, bentar. Ini Jakarta-nya sama ga sih?”

“Akses ke sananya banjir, Pak,” lanjut si Bapak.

Karena waktu mepet, akhirnya gua menyudahi perdebatan apakah kita berada di kota yang sama atau ga, dan membatalkan pesanan taksi. Nyokap yang sedari tadi nemenin, menyarankan untuk membangunkan kakak gua yang masih tertidur. Lebih baik gua minta kakak gua untuk dianterin keliling-keliling nyari taksi di jalan.

Singkat cerita, gua, kakak, dan nyokap keliling-keliling di tengah hujan deras. Namun perjalanan mencari taksi berbuah nihil. Sepanjang penglihatan kami, ga ada satupun taksi yang mangkal atau berkeliaran subuh itu.

Gua bingung. Semakin bingung ketika melihat jam di tangan udah menunjukkan pukul setengah 6. Gua harus jalan ke bandara sekarang kalo ga mau ditinggal pesawat.

“Udah, Roy, gue anterin aja ya ke bandara. Daripada telat,” tawar kakak gua yang dengan cepat gua iyakan.

Tapi masalah ga selesai sampai di sini. Seluruh akses antara rumah gua dan bandara udah tergenang air. Banjir udah meluas ke mana-mana. Sementara jarum jam terus berputar, ga menunggu gua menemukan akses tercepat tanpa banjir ke bandara.

Di saat itulah, gua mulai panik.

“Duh, gimana nih ya? Apa batalin aja ya ke Singapura nya?” kata gua di tengah jantung yang berdegup cepat.

“Kita lewat pintu tol sana, terus terobos aja deh banjirnya,” ajak kakak gua yang nyokap gua iyakan juga. Kakak gua puter kendali dan menuju pintu tol terdekat meski tau kemungkinan besar di sana juga tergenang air. Ternyata benar dugaan dia, air di depan pintu tol udah setinggi 40-50 cm. Mobil gua yang berjenis city car harus rela diajak setengah berenang.

Blubuk, blubuk, blubuk…

Sepanjang menerobos genangan air, nyokap berdoa. Kakak gua juga jalanin mobilnya pelan banget, harap-harap ga ada air yang menyelinap masuk ke dalam mobil, atau ga ada lobang yang bisa bikin mobil nyangkut. Pikiran gua sendiri terpusat di satu masalah: jam penerbangan. Waktu yang tersisa sebelum pesawat take off tinggal 1 jam lagi.

Blubuk, blubuk, blubuk…

Namun berkat doa dan perjuangan, akhirnya mobil gua lewat dari genangan air dan berhasil masuk ke jalan tol yang tinggi menggantung di langit Jakarta. Jalan tol pasti bebas dari macet dan banjir. Tapi ketika gua pikir masalah gua selesai sampai di sini, ternyata ada lagi cobaan yang datang.

Srek, srek, srek…

“Bunyi apaan tuh?” tanya kakak gua.

Srek, srek, srek…

Suara itu sepertinya datang dari mobil gua. Lebih tepatnya, suara itu datang dari kolong mobil. Kakak gua menepikan mobil di bahu jalan. Gua segera turun dan coba melongok apa penyebab suara tadi.

Ternyata ada karet penutup mesin bagian bawah yang copot.

Kemungkinan, karet itu copot karena terdorong oleh arus air saat mobil menerjang banjir. Mau dibiarin menggantung di bawah bisa bahaya, khawatir gesekan karet dengan aspal bisa membuat percikan api. Pengen gua tarik sampe copot juga ga bisa, karena sisi satunya masih terbaut dengan kencang.

Akhirnya gua melepaskan tali pada jaket dan mengikat ujung karet yang lepas dan menjepitnya ke kap mobil. Tapi sepertinya ini ga akan tahan lama. Kalo mobil gua dipacu kencang, masih ada kemungkinan ikatan ini lepas dan kembali menyeret aspal. Dan itu bahaya banget.

“Terus sekarang gimana?” tanya gua dalam hati.

Mobil gua berhenti sampai di sini. Mau nyari taksi juga ga mungkin, karena ga akan ada taksi kosong naik ke jalan tol. Naik ojek juga ga mungkin. Mau jalan kaki? Bandara masih jauh banget. Gua melihat jam di tangan. Ini udah jam 6 lewat.

Di momen ini, gua hanya bisa bertolak pinggang dan menundukkan kepala. Gua nyerah digempur cobaan.

Kelar urusan taksi, gua kena banjir. Kelar urusan banjir, eh mobil gua bermasalah. Gua menengadah ke atas dan protes, “Why, God? Why?”

Di saat gua benar-benar bulat ingin membatalkan keberangkatan ke Singapura, di saat semua masalah menimpa bergantian, di saat gua mulai putus asa, saat itulah sebuah harapan muncul. Tiba-tiba aja ada taksi berhenti persis di belakang mobil gua. Taksi kosong pula.

Things get better when you least expect it.

Gua langsung menghampiri taksi tadi masih dengan rasa setengah percaya ga percaya, “Pak, Bapak narik ga?”

“Mau ke arah mana, Dek?” tanya si supir, sepertinya ia ingin memastikan bahwa tujuan gua bukanlah daerah banjir.

“Bandara.”

“Boleh, boleh.”

Gua lalu berpamitan dan meminta maaf karena harus meninggalkan kakak dan nyokap gua. Kakak gua bilang setelah ini mereka akan langsung turun tol dan sepertinya ikatan tadi akan kuat kalo hanya untuk perjalanan ke rumah. Gua memeluk mereka berdua dan bilang hati-hati di jalan.

Pintu taksi gua tutup dan gua minta ke pak supir untuk sedikit menginjak pedal gas lebih dalam. I have a flight to catch.

Sisa perjalanan terhitung lancar. Gua akhirnya sampai di bandara pukul setengah 7, tepat 30 menit dari waktu take off pesawat. Gua tiba, tepat waktu. Setelah bertemu dengan pacar dan adiknya, gua menelepon nyokap untuk memastikan keadaan. Mereka berdua udah sampai rumah dengan selamat.

Semua urusan kelar, ga ada masalah berarti. Gua udah tiba di bandara, udah ketemu pacar dan adiknya, serta ga ketinggalan pesawat. Nyokap dan kakak gua juga udah sampe rumah. Masalah mobil rusak masih bisa diganti nanti.

“Haaah.” Gue menghembuskan napas panjang. Lega. Di perjalanan menuju boarding, gua hanya bisa tersenyum saat tertegur oleh pemikiran ini.

Harusnya gua ga usah begitu pusing waktu digempur persoalan. Harusnya gua bisa lebih tenang ketika dihadapkan pada masalah. Harusnya gua ga terlalu panik saat disodorkan cobaan demi cobaan.

Karena seharusnya gua yakin, kalau pertolongan Tuhan, selalu tepat waktu.

“It’s always about timing. If it’s too soon, no one understands. If it’s too late, everyone’s forgotten.” ― Anna Wintour



Viewing all articles
Browse latest Browse all 283