Hari Sabtu itu tampak seperti Sabtu-Sabtu biasanya. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi ketika gua sedang bersiap akan menjemput si pacar di rumahnya. Mandi, cukuran, sikat gigi, sarapan, dan tentu aja, pake celana. Semua berjalan seperti biasa. Hanya ada satu pembeda yang membuat Sabtu pagi itu terasa lebih menegangkan buat gua. Gua membawa sebuah cincin.
Bukan, bukan, gua bukan bertujuan untuk membawa cincin itu ke Mordor lalu membuangnya ke lahar panas. Tapi gua bermaksud untuk memberikan cincin itu ke si pacar.
Iya, gua mau melamar si pacar.
Sebagai catatan, si pacar sama sekali ga tau hal ini. Jadi ini sebuah kejutan kecil yang semoga menyenangkan buat dia. Semoga, saat gua memberikan cincin ini dan menanyakan apakah ia mau menemani gua sampai akhir hayat, jawabannya bukan “Saya sih yes, tapi ga tau deh gimana Mas Dhani” atau malah “Bisa jadi! Bisa jadi!”
Gua udah menyiapkan rencana lamaran ini selama beberapa bulan. Persiapannya agak lama karena rencananya terus berubah-ubah. Awalnya gua ingin memakai social media, namun setelah gua pikir-pikir, biarlah prosesi lamaran ini tetap menjadi privasi kami berdua. Lalu sempat berencana untuk mengajaknya menikah di tengah makan malam yang indah sambil diiringi musik klasik, yang lalu dengan kasualnya, muncul Limbad yang beratraksi makan keramik. Tapi lagi-lagi, rencana itu gua batalkan dengan alasan paling umum ketika suatu hal gagal. Karena “satu dan lain hal”.
Selain karena rencana yang berubah-ubah, alasan kedua kenapa persiapannya makan waktu agak lama adalah karena cincinnya harus gua pesan khusus. Ukuran lingkar jari si pacar sangat kecil, sehingga cincinnya ga bisa gua beli jadi. Harus pesan. Kecilnya lingkar jari si pacar ini pun membuat gua beberapa kali mendapat tatapan curiga dari toko cincin.
“Mas, ukuran cincinnya mau berapa?” tanya si penjaga toko.
“Empat, Pak.”
“Empat? Empat itu buat anak-anak lho. Ini buat hadiah ulang tahun keponakannya ya?”
Tadinya gua mau jawab kalo gua mau ngegaul ke Mordor bareng Legolas dan kuda gua udah nunggu di depan. Tapi demi hubungan baik, maka gua menjawab, “Bukan, Pak. Buat lamaran.”
Dan detik itu juga, gua mendapat tatapan penuh tuduhan bahwa gua ini om-om pedofil.
Selain soal ukuran, cincin ini juga sengaja gua pesan khusus agar sesuai dengan cincin impian si pacar yang tanpa sadar pernah ia ceritakan di salah satu dari ratusan kencan kami. Si pacar mau cincin yang sederhana. Lingkar bulat sempurna dengan satu mata aja sebagai mahkotanya. Ga mau yang terlalu bling-bling atau bermata banyak. Cukup satu.
Setelah memasukkan cincin ke dalam kantong celana, gua bercermin sekali lagi sebelum berangkat. Gua menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat untuk menurunkan kadar grogi yang membuncah dalam dada.
“Haaaah!”
Dada yang sesak melentur sedikit. Kini gua udah siap. Dengan mengenakan kaos dan celana jeans, gua pun berangkat ke rumah si pacar.
Satu jam kemudian, gua sampai di depan rumahnya. Sebelum turun dari mobil, gua memastikan lagi semua perlengkapan udah pada tempatnya. Setelah semua oke, gua pun melangkah ke arah rumahnya. Dan dalam satu tarikan napas, gua mengirim pesan singkat ke smartphone-nya, “Aku udah di depan nih.”
Jantung semakin berdegup parah saat wajahnya mulai nampak dari balik pintu. Kombinasi wajah cantik, senyum manis, dan entah apa lagi, selalu berhasil membuat darah berdesir lebih kencang dari biasanya. Padahal siang itu, si pacar mengenakan pakaian sehari-harinya. Sama seperti gua, dia hanya pakai kaos dan celana jeans.
Lalu mobil pun gua pacu. Hari itu kami memang ada rencana ke Kelapa Gading untuk melihat perkembangan pembangunan apartemen yang akan jadi tempat tinggal kami setelah menikah nanti. Itu yang si pacar tau. Yang si pacar ga tau, ada satu rencana lagi yang akan gua jalankan sekarang.
“Eh, coba deh kamu buka laci dashboard,” kata gua memulai eksekusi rencana lamaran. Si pacar sedikit bingung namun tetap membuka laci yang ada di hadapannya.
Di dalam laci, ada satu kota ungu berukuran sedang yang biasanya ga ada di situ. Si pacar sempat tertegun, sebelum akhirnya gua teruskan, “Ambil deh kotaknya.”
“Ini?” tanya dia, kurang yakin.
“Iya. Ambil. Itu buat kamu.”
Si pacar lalu mengambilnya pelan-pelan, “Aku buka ya.”
Di dalam kotak ungu itu, ada satu kotak lagi berbahan bludru warna hitam yang berukuran lebih kecil. Sebuah kotak yang biasa digunakan untuk menaruh cincin di dalamnya. Setengah kaget, si pacar menutup mulutnya dan sepertinya ia menyangka ini adalah cincin impian yang pernah ia ceritakan dulu.
“Ini… ini…” Si pacar terbata.
“Buka deh.”
Ketika dia buka, ternyata isi kotaknya… kosong. Saat si pacar terperangah dan bingung apa yang terjadi, gua mengambil benda yang sedari tadi masih ada di kantong gua.
“Will you marry me?”
Tanpa banyak kata, tanpa basa-basi, gua melontarkan sebuah pertanyaan yang biasa diucapkan seorang pria sambil berlutut dengan pakaian terbaiknya. Namun hari itu gua memutuskan untuk melamar si pacar dengan cara gua. Dengan sederhana.
Hanya dengan mengenakan kaos dan celana jeans. Hanya sambil nyetir di tengah kemacetan Jakarta menuju tempat tinggal kami berdua nanti. Hanya sepotong kalimat tanpa embel-embel pidato super manis sebagai pengantar.
Karena nanti, gua ga akan selalu berlutut sambil pakai jas di hadapannya. Karena nanti, gua ga akan selalu berpidato super manis untuk mendapat perhatiannya.
Tapi yang pasti, gua akan selalu duduk di sampingnya. Mengantarkan dia ke tempat-tempat terbaik. Menemani dia di perjalanan pulang, sambil berbicara tentang apa saja. Berdua menikmati dunia sampai tua, dengan mengenakan kaos dan celana jeans.
Hanya itu yang bisa gua janjikan. Hanya itu yang gua ucapkan sambil menggenggam tangannya dan menawarkan cincin serta hidup gua untuknya.
Gua menarik nafas dalam-dalam sambil menunggu apa jawabannya.
“Haaaah!”
Sabtu kali ini jelas bukan Sabtu yang seperti biasanya. Frekuensi gua menghela napas panjang jauh lebih sering. Detak jantung gua hari itu juga berdegup lebih keras. Keringat mulai muncul di sela tiupan mesin pendingin mobil. Namun jawaban si pacar membuat Sabtu itu menjadi salah satu hari paling bahagia dalam hidup gua.
She said yes.
—
“It is the sweet simple things of life which are the real ones after all.” – Laura Ingalls Wilder
