Jalan-jalan kemiskinan adalah istilah gua dan teman-teman semasa kuliah ketika kami melakukan traveling dengan dana yang sangat minim. Lebih minim dari rok artis dangdut ibukota yang sedang tour di daerah Pantura. Dan perlu dicatat, tour yang disebut barusan bukanlah study tour.
Namun karena dana yang terbatas ini, seringnya kami (gua dan teman semasa kuliah, bukan gua dan artis dangdut ibukota) malah menemukan tempat-tempat yang “ga biasa” atau kadang “tersembunyi”.
Seperti yang kami temukan saat traveling ke Bali bulan Maret kemarin.
Semua bermula ketika jam di tangan menunjukkan pukul 3 siang waktu Indonesia bagian tengah dan kami semua sedang panik.
Siang itu, kami berlima baru aja keluar dari museum Don Antonio Blanco di daerah Ubud. Selain karena banyaknya gambar-gambar eksotis menjurus vulgar di dalam museum, kami panik karena kami baru saja mengeluarkan uang sebesar 30 ribu per orangnya untuk masuk ke dalam museum. Ini jelas di luar rencana. Terlebih lagi, ini jelas di luar budget.
Sebagai pelancong kere, kami hanya menetapkan anggaran sebesar 20 ribu untuk masuk ke sebuah tempat wisata atau pertunjukan atraksi. Museum Don Antonio Blanco ini 30 ribu. Kami kelebihan 10 ribu. Hidup pun terasa berat. Oh life.
Dengan fakta over budget 10 ribu untuk hari ini, kami bergegas menuju destinasi berikutnya. Tujuan kami adalah Garuda Wisnu Kencana (GWK), taman budaya yang terdapat patung dewa Wisnu setinggi 23 meter. Sejatinya, ketika sudah rampung, patung dewa Wisnu yang menunggangi garuda ini akan setinggi 146 meter. Yang akan menjadikannya patung tertinggi di dunia mengalahkan patung Liberty yang memiliki tinggi 93 meter di New York, Amerika Serikat.
Setelah menempuh kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di gerbang GWK. Dengan mobil sewaan, kami masih santai menuju loket masuk. Kami sangat berharap harga tiket masuk GWK ga lebih dari 10 ribu. Ngarep banget.
Loket semakin dekat.
Papan harga terlihat.
30 ribu rupiah per orang.
Audi, teman kami yang jadi supir, menginjak rem. Memindahkan tuas ke posisi mundur. Menginjak pedal gas dengan kencang sambil memutar kendali. Kami balik arah.
GA MAU BAYAR 30 RIBU! KERE!
Namun karena udah terlanjut sampai sini, kami masih coba mencari destinasi alternatif. Ditambah lagi, sebenarnya gua belum pernah ke GWK dan ingin melihat patung dewa Wisnu yang masyur itu meski dari jauh.
Audi lalu mengarahkan mobil ke sebuah gedung kosong yang ada di bagian depan komplek GWK. Awalnya, kami hanya ingin foto-foto di depan gedung itu sebagai tanda kami pernah ke area GWK. Namun ketika melihat ada mobil datang dari arah dalam, terbit sebuah ide dalam kepala gua.
“Eh, itu kayaknya bisa masuk ke area patung Wisnu dari belakang deh.”
Kami berlima bergegas masuk kembali ke dalam mobil dan mencari jalan tembus menuju belakang patung Wisnu. Berkeliling dengan kecepatan rendah mencari celah agar bisa masuk dengan biaya yang lebih murah. Setelah beberapa menit yang solid, bukannya patung Wisnu, kami malah menemukan ini:
Wow
Kami berlima terkesima.
Sepertinya, daerah GWK itu dulunya bukit berbatu yang kemudian dibelah untuk pembukaan lahan baru. Susunan batu-batu sisa bukit berdiri tegap dengan rapih seperti berbaris menjaga GWK. Hamparan hijaunya pepohonan yang tumbuh subur di bawah dan atasnya memberi kesan kontras akan warna kelabu dari batu-batu itu. Sebuah pemandangan yang sayang untuk tidak diabadikan.
Serunya, daerah itu masih sepi. Sore itu, hanya ada kami berlima yang berada di sana untuk menikmati gugusan batu-batu itu. Kami jadi bisa puas foto-foto tanpa gangguan wisatawan lain.
Kerennya, batu-batu bukit itu terpotong rapih. Benar-benar rapih. Terpotong lurus vertikal seolah memberi celah agar pelancong kere yang penasaran seperti kami bisa menyelinap masuk dan terkesima lebih lanjut.
Kayak gerbang ya?
Gua melihat celah itu cukup besar untuk bisa dilalui mobil. Akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan, menembus celah, dan memberi makan rasa penasaran kami.
Di balik gerbang itu, masih banyak gugusan batu yang terpotong rapih ‘tumbuh’ dan berjejer dengan jarak yang konsisten. Mungkin batu yang diambil dari celah itu dipakai untuk pembangunan area GWK. Sayangnya ga ada petunjuk ataupun penduduk lokal yang bisa ditanya-tanya.
Keterkejutan kami berlanjut saat melihat patung ini.
Awesome!
Kalo kita kasih jempol, dia pasti kalah suit. Behehek.
Di dalam area ini, ada 2 patung tangan yang terbuat dari logam. Gurat dan lekukan tangannya terbentuk mendekati sempurna. Entah ini karya siapa atau tangan siapa, yang jelas ini keren banget. Lagi-lagi, hanya ada kami berlima yang ada di sana untuk menikmati pemandangan tempat ini. Jadilah kami memonopoli patung tangan ini untuk foto-foto.
Bisa foto seperti ini:
Lihat! Ada babi terbang!
Atau bisa juga seperti ini:
HATCHIM!
Setelah puas foto-foto, kami melanjutkan perjalanan dan masuk lebih jauh ke dalam gugusan batu-batu besar itu. Gua masih penasaran, apa jalan ini bisa membawa kami ke belakang dari patung Wisnu. Dengan mobil, kami melibas tanah yang belum beraspal dan masih berbatu itu. Offroad banget. Sungguh kasian orang yang merentalkan mobilnya ke kami.
Akhirnya, kami sampai ke bagian paling dalam dari area bebatuan ini. Di sini, kami menemukan sebuah ornamen yang bisa banget jadi spot foto lagi. Sebuah lobang dengan diameter yang sangat besar!
Dengan lobang ini, kita bisa berimajinasi bahwa baru saja ada meteor hinggap di bumi. Atau berfantasi ada pesawat yang membawa superhero seperti Superman dan Songoku mendarat dan membuat lobang sebesar ini. Atau bisa juga, meneriakkan sebuah kalimat dari film yang sangat terkenal dengan lobang besar seperti ini.
THIS IS SPARTAAA!
Saat kami masih asik tertawa dan mengambil foto dengan berbagai gaya, mata gua menemukan apa yang gua cari. Ga jauh dari lobang itu, mata gua menangkap sebuah objek yang selama ini hanya bisa gua lihat di televisi ataupun internet.
Patung dewa Wisnu.
Taraaa!
Meski hanya bisa melihat bagian belakangnya –itu pun hanya ujung kepalanya– gua ga kecewa. Itu karena kami berhasil menemukan destinasi menarik lainnya.
Sebuah area dengan gugusan batu-batu besar yang berdiri tegap dan menjulang. Seperti pantai Tanjung Tinggi di Belitung, dengan pasir yang serupa namun tanpa desiran angin laut dan sapuan ombak di dekatnya.
Sebuah lapangan dengan batu-batu bak balkon penonton yang memagari kita agar ga bisa lari. Seperti Colosseum di Roma, dengan kemegahan yang serupa namun tanpa singa lapar dan titah Kaisar di dalamnya.
Sebuah tempat yang menarik yang jarang dikunjungi orang. Sebuah tempat yang tersembunyi.
Tapi, perjalanan kami ga berhenti di sini. Di hari yang sama, beberapa jam berikutnya, kami menemukan sebuah tempat tersembunyi lain.
…tunggu di postingan berikutnya ya.
