DISCLAIMER:
Untuk bisa lebih menikmati postingan ini, ada baiknya baca dulu bagian satunya di sini.
—
Masih di hari yang sama, gua dan 4 teman kuliah memutuskan untuk meneruskan perjalanan mengunjungi objek-objek wisata ternama di Bali. Setelah puas berfoto-foto di lahan berbatu dekat Garuda Wisnu Kencana (GWK), destinasi berikutnya yang kami tuju adalah Uluwatu. Rencananya, kami ingin menikmati terbenamnya matahari dari pinggir tebing Pura Luhur Uluwatu. Terdengar cukup mewah untuk seorang pelancong kere bukan?
Pura Luhur Uluwatu berada di wilayah desa Pecatu, Badung, di ujung barat daya pulau Bali. Terletak di dekat tebing dengan ketinggian puluhan meter di atas permukaan laut, Pura Luhur Uluwatu menghadap ke barat sehingga menjadikannya tempat yang pas untuk menikmati matahari terbenam.
Dengan mobil rental, kami berlima bergegas menuju Pura Luhur Uluwatu, mengejar waktu agar matahari belum tenggelam saat kami sampai. Jarak Uluwatu dengan GWK ga terlalu jauh. Kurang lebih hanya perlu waktu 30 menit agar bisa sampai ke Uluwatu. Area parkir yang cukup luas memudahkan Audi –sang teman yang menjadi supir– untuk mengistirahatkan mobil dengan cepat.
Untungnya, harga tiket masuk Pura Luhur Uluwatu masih dalam budget kami. Untuk dewasa dan lokal hanya dikenakan biaya 15 ribu rupiah aja, Bro! Sebagai catatan, setiap pengunjung diwajibkan untuk berpakaian sopan dan memakai bawahan yang menutupi lutut. Bagi yang hobi pake celana pendek, disediakan sejenis kain sarung yang bisa dipakai untuk menutupi lutut dan kaki. Jadi tenang, Bob Sadino, lu bisa masuk ke sini.
Yang langsung ternotifikasi dari Pura Luhur Uluwatu adalah banyak monyet liar yang wara-wiri di sepanjang jalan masuk. Monyet-monyet di Pura Luhur Uluwatu terbilang berani. Bukan berani dalam artian suka berpakaian yang menonjolkan aurat, tapi berani dalam artian gemar menghampiri pengunjung. Ga jarang ada monyet yang mengambil barang-barang dari tangan atau dalam kantong tas pengunjung.
Jadi, kalo berkunjung ke Pura Luhur Uluwatu, pegang barang bawaan lu dengan erat, dengan hati-hati, dan dengan tangan. Logis ya, kalo megang ya pake tangan. Logis, logis. Oke, lanjut.
Bawa dengan hati-hati barang bawaan kalian. Handphone, salah satunya. Jangan sampai si monyet ngambil handphone kalian, buka aplikasi Twitter, dan ngetwit “f0Lb3k e4Aa… k4kakZz!” setelahnya. Lupakan kehilangan handphone, tapi malunya itu lho. Karena ketika handphone bisa balik ke tangan lu pun, mau ngetwit “Sorry, tadi dibajak ama monyet” juga ga bakalan ada yang percaya.
Di ujung dari Puri Luhur Uluwatu, ada tebing dengan pantai Pecatu (kalo ga salah, agak-agak lupa namanya) di bawahnya. Dengan berbatas sebuah pagar beton, kita bisa melihat laut lepas dan matahari yang mulai turun pelan-pelan daro pinggir tebinh. Kalo memejamkan mata, suara debur ombak seakan membuai kita untuk masuk ke alam bawah sadar lebih dalam lagi, lebih dalam lagi dari sebelumnya.
Tapi bukan di sini bagian Uluwatu yang menarik menurut gua dan 4 teman kuliah lainnya.
Kami berlima berjalan kaki menyusuri sisi kiri tebing setelah melihat kerumunan orang berjejalan. Ternyata, di sana terdapat area untuk menonton tari kecak jelang sunset. Terdengar cukup menarik bukan? Menarik tapi bukan bagi kami; para pelancong kere! Karena untuk nonton tari kecak ini, pengunjung diharuskan merogoh kocek sebanyak 70 ribu rupiah! Itu bisa buat makan 4 kali tuh!
Karena keterbatasan budget, kami memilih untuk ga menyaksikan tari kecak. Nantilah kami cari aja di Youtube.
Namun, rasa penasaran kami bermain ketika melihat ada jalan setapak kecil tepat di sebelah kanan area tari kecak. Tanpa pikir panjang, kami mengikuti jalan setapak itu yang ternyata membawa kami masuk ke dalam sebuah hutan. Suasananya agak angker, ditambah lagi langit mulai meredup karena matahari semakin melayang rendah. Sempat ragu apakah kami terus maju atau balik arah. Apalagi jalan setapak tadi semakin kecil dan menjurus hilang tertumput rumput. Kalo pun terus melaju, kami hanya bisa mengandalkan insting.
Jadi piye?
“Tanggunglah! Maju terus!” teriak Naya, teman yang berdiri paling depan.
Dengan setengah berat hati, gua melangkahkan kaki, menembus pepohonan rindang sambil mata terus memperhatikan langkah. Terlalu banyak alang-alang yang membuat kaki gatal dan ingin lekas melewati hutan. Rute ini jelas jarang disentuh wisatawan.
Tapi keputusan yang kami ambil sangatlah tepat. Di balik rimbunnya pepohonan tadi, ada pemandangan secantik ini.
Adem bener!
Rumput hijau tumbuh subur di sepanjang mata memandang. Terhampar puluhan meter mengikuti lekuk tanah yang bergelombang. Ini sungguh sebuah kejutan yang menyenangkan. Menemukan sebuah savana di pinggir jurang.
Suara demburan ombak yang menghantam tebing terdengar sangat jelas, ga tertutup oleh suara-suara wisatawan yang sibuk mengunyah atau mengambil gambar. Sungguh tenang dan syahdu.
Gebyur! (ceritanya sound effect ombak)
Sore itu, hanya ada 1 cewe bule yang berfoto di sana. Tapi ga lama berselang, 2 orang wisatawan lokal dan 3 wisatawan asing menyusul di belakang kami. 11 orang ini terbilang sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah orang yang menonton tari kecak dan luasnya padang rumput ini.
Saking luasnya, savana ini menggoda gua dan beberapa teman untuk berlari dan menelusuri lebih jauh, menemukan di mana ujung dari hamparan rumput hijau ini.
Keriaan kami terhenti sejenak saat di salah satu sudut, kami menemukan gerombolan sapi. Ketika kami mendekat, sapi-sapi menghentikan segala aktivitasnya dan menatap kami lekat-lekat. Kayak punya insting Spider-man!
Sapi-sapi yang tadinya lagi asik makan, tiba-tiba fokus ngeliatin gua. Seolah-olah gua lah yang selama ini mencet-mencet tetenya tiap pagi untuk dikomersialisasikan.
Woles, Bro!
Gua emang ga begitu handal di pelajaran biologi, tapi seingat gua sapi adalah hewan memamah biak namun vegetarian. Jadi ketakutan untuk dikunyah, dilepeh, dan dikunyah lagi hilang sudah. Tapi tanduk-tanduk mereka masih terlihat tajam dan mengancam.
“Mundur yuk. Mundur yuk…,” ajak gua ke teman-teman sambil berjalan kembali menelusuri rerumputan.
Hijau bukanlah satu-satunya warna di padang rumput Uluwatu. Ada beberapa pohon berdahan merah dan oranye tumbuh lebat di satu sisi. Langit senja menambah gemerlap warna terang dan menjadikan savana itu bak screen saver Windows 98.
Keyen!
Semua ini membawa gua ke satu kesimpulan. Bahwa tipisnya budget traveling sering membawa kami menemukan tempat-tempat tersembunyi yang jarang dikunjungi. Rendahnya kocek dan tingginya rasa penasaran menjadi kombinasi menarik yang selalu menelurkan cerita dalam sebuah perjalanan. Sebuah cara yang patut dicoba.
Perhatian gua teralihkan saat warna jingga mulai luntur dari langit. Matahari telah bertengger di tepi cakrawala, seperti siap menyelam ke dalam laut. Membuat pantulan sinarnya pelan-pelan meredup. Kami sigap mengambil gadget masing-masing dan mulai sibuk mengabadikan momen sunset ini.
Sunset di Uluwatu
Berlatar sinar mentari yang meredup ini, masing-masing kami membuat foto siluet secara bergantian. Ada yang bertolak pinggang, memegang kamera, ataupun merentangkan tangan seolah siap dipeluk malam. Membiarkan cahaya yang tersisa dari mentari, menjadi batas antara kami dengan kegelapan.
Gaya gua? Hmm…
Karena hari ini kami berhasil menemukan tempat-tempat tersembunyi yang menarik, gua memutuskan untuk bergaya seperti ini.
U yeah!
—
PS: Kalian juga pernah nemuin tempat tersembunyi pas lagi traveling? Share dong :D
