Di jalan-jalan kemiskinan, segala macam aspek pengeluaran sebisa mungkin ditekan habis-habisan. Lupakan hotel berbintang lima di pos akomodasi. Kami cenderung memilih hotel kelas melati dan minum puyer bintang tujuh setelahnya. Atau bisa juga dipangkas dengan nginep di rumah temen atau tidur sementara di bandara.
Pos transportasi paling mungkin dipangkas. Jangan naik yang mahal kayak Garuda. Lebih baik naik elang, rajawali, atau perkutut. Mobilisasi selama di tujuan juga bisa disubstitusi. Taksi diganti dengan bus, atau malah, jalan kaki. Biar jalan kakinya ga terlalu pegel, kita bisa pake sepatu yang ada roda di bagian belakang dan meluncur kayak anak kecil di Pondok Indah Mall.
Dan pos pengeluaran yang paling sering kami tekan saat jalan-jalan kemiskinan adalah budget buat makan.
Entah makanannya yang disubstitusi dengan yang lebih murah, atau malah jadwal makannya yang dihilangkan. Waktu jalan-jalan kemiskinan edisi pertama ke Singapura, kami sering banget nge-skip sarapan dan langsung makan jam 11-an. Kalo ibu-ibu sosialita mengenal istilah brunch demi pergaulan, kami mengenal brunch demi kelangsungan hidup!
Meski begitu, salah satu kebiasaan yang kami lakukan di jalan-jalan kemiskinan adalah makan enak di hari terakhir. Biar kesan yang melekat di ingatan itu, kita makan enak. Padahal perbandingan makan enak sama makan kerenya itu udah kayak hewan babi rusa di dunia. Langka bener!
Nah, kali ini gua bakal cerita tentang 4 makanan paling gembel yang pernah kami makan selama melakukan jalan-jalan kemiskinan. Gua bakal urutin dari yang paling mendingan ke yang paling parah.
Prepare yourself. Here we go.
—
4. Mie bakso (di antara Jakarta – Yogyakarta)
Awal tahun 2012, kami melakukan roadtrip dari Jakarta ke Yogyakarta. Karena itu long weekend, jalur kami dapet info kalo jalur pantai utara Jawa padat ga merayap. Kami lalu memutuskan untuk menggunakan jalur selatan. Sempat lancar beberapa kilo, namun di Nagrek, deretan mobil yang parkir bebas di tengah jalan menjadi pemandangan yang sangat lazim. Macet total.
Berbekal Google Map, kami sok-sok motong jalan dan mencari jalur alternatif. Setiap kena macet, kami langsung buang arah. Pokoknya cari jalan yang lancar deh. Tapi gara-gara begitu, Jakarta – Yogyakarta kami tempuh dalam waktu total 17 jam! Auwo!
Karena sepanjang jalan kami mengambil arah yang acakkadut, maka makannya pun seketemunya. Entah di mana dan kilometer berapa, pas jam makan siang, kami berhenti aja gitu di sebuah warung yang ternyata jualan mie bakso. Untung dia ga jualan mur baut, bisa-bisa kami jadi anak didik Limbad.
Karena ga ada pilihan lain, ya akhirnya kami pesen mie bakso. Rasanya… biasa aja. Bener-bener mie bakso biasa, ga ada tambahan daging orok yang membuatnya kuliner khas daerah sana atau gimana gitu. Rasanya kayak mie bakso gerobakan yang sering kita temuin di jalan-jalan Jakarta.
Jauh-jauh ke Yogya, makannya mie bakso juga. Pffft!
3. Biskuat! (di perairan dekat Belitung)
Siang. Tepat pukul 12.
Kami sedang terombang-ambing di atas laut. Jauh dari restoran ataupun warung makan manapun. Mengapung di dalam perahu kayu di antara pulau-pulau kecil di Belitung. Tiga dari kami sedang asik snorkling, sementara gua menunggu di bibir kapal sambil memegangi perut. Di dalam perut gua, Soendari Soekotjo lagi check sound. Keroncongan.
Di dalam tas, kami hanya bawa Biskuat. Itupun awalnya diperuntukkan untuk ngumpanin ikan-ikan, memancing mereka agar mendekat selama snorkling. Karena perut udah meronta-ronta minta diisi, akhirnya gua embat juga tuh biskuat buat makan siang. Satu keping cuma geli-geli doang di perut. Gua tambah sekeping lagi, sekeping lagi, sekeping lagi, sampe tau-tau gua ngabisin sebungkus!
Untung ga jadi macan. Aum.
2. Pop Mie (di losmen Gili Trawangan)
Makan Pop Mie ini kami lakukan saat jalan-jalan kemiskinan ke Bali dan Gili Trawangan, bulan Maret lalu. Demi mengirit, kami makan malam Pop Mie aja saat di sebuah losmen di Gili Trawangan. Mungkin makan Pop Mie terdengar ga gembel-gembel banget buat kalian. Emang sih, ini umum banget. Bahkan anak pramuka yang lagi kemping di Cibubur pun bisa makan Pop Mie.
Kenapa gua meletakkan Pop Mie sebagai nomor dua makanan paling gembel yang pernah makan, tidak lain tidak bukan, karena makan Pop Mie-nya di Lombok, tapi belinya di Bali! Niat banget ga tuh? Bahahahak!
Itu semua karena desas-desus dari seorang teman yang bilang bahwa harga makanan di Gili Trawangan jauh lebih mahal daripada di Bali. Jadilah kami mempersiapkan dengan beli makanan saat di Bali. Ga cuma Pop Mie, kami juga beli susu sachetan, roti tawar, sosis So Nice, dan air mineral botolan di Bali buat dibawa ke Lombok. Terus dijatah. Dasar gembel!
Yoi banget kan?
1. Angin (hotel bintang 3 di Belitung)
Seperti layaknya hotel bintang 3 kebanyakan, hotel yang kami tinggali selama 1 malam di Belitung ini pun menyediakan sarapan. Tapi karena ini kemiskinan, kami menghemat budget akomodasi dengan hanya pesan 1 kamar untuk 5 orang. Kalo Sarimi ada yang isi 2, maka kamar hotel kami isinya 5! Behehehek!
Satu kamar hanya dapet jatah sarapan untuk 2 orang, sementara kami nginepnya berlima. Mau beli jatah sarapan tambahan juga ga sanggup. Atas asas demokrasi dan musyawarah mufakat, untuk menentukan siapa yang dapet sarapan pagi ini, kami… main kartu. Main remi tepatnya. 2 pengumpul angka terbanyak berhak dapet sarapan.
Sisanya? Makan angin!
—
Demikianlah makanan-makanan paling gembel yang pernah kami makan selama melakukan jalan-jalan kemiskinan. Mulai dari mie bakso, biskuit yang bisa jadi macan, mie dalam kemasan, sampai judul lagu band Dewa 19.
Ga ada yang bisa bikin perut penuh banget, paling geli-geli doang di tenggorokan. Namun setiap kunyahannya mengandung tawa dan canda yang bisa dibagikan. Setiap gigitannya seperti membuka memori catatan perjalanan yang sayang untuk dilewatkan.
Karena makanan-makanan tadi ga ada yang mengeyangkan, namun rasa-rasanya semuanya menyenangkan.
—
PS: Kalo kalian pernah makan paling gembel kayak gimana? Share dong :D
