Gua ga pernah pede dengan fisik gua, terutama saat PDKT sama cewek.
Saat remaja, satu-satunya yang bisa gua andalkan dari fisik gua adalah postur gua yang tinggi. Itupun postur tinggi ini gua dapet karena faktor keturunan, bukan karena gua atlet andelan sekolah atau suka debus nyemilin sumpit. Dengan tinggi di atas rata-rata, biasanya gua akan lebih mudah diingat daripada temen-temen cowok lain saat berhadapan dengan lawan jenis.
Minimal kalo ada yang bilang ke seorang cewek, “Si Roy titip salam tuh.”
Biasanya akan dijawab dengan, “Oh, Roy yang tinggi ya?”
Stop sampai di situ. Karena setelah kalimat yang tadi, respon selanjutnya yang diberikan oleh cewek itu ga seindah yang dibayangkan. Jangan bayangkan kalimat seperti, “Salam balik ya” atau “WUOGH!” lalu lari-lari keliling lapangan karena kegirangan disalamin gua.
Tapi biasanya berupa, “Oh, Roy yang tinggi ya? Ehe he he he he.”
Atau mungkin, “Oh, Roy yang tinggi ya? Kebetulan, layangan gue nyangkut.”
Bisa juga, “Oh, Roy yang tinggi ya? HUEK CUH!”
Atau, “Oh, Roy yang tinggi ya? Lho, ini di mana? Tanggal berapa? Aku siapaaa?”
Karena selain postur tinggi, yang tersisa pada fisik gua bisa dibilang jauh dari kata menarik. Perut besar, paha tebal, dan wajah yang sering cengar-cengir ga jelas membuat kisah cinta masa remaja gua jauh dari yang manis-manis.
Saat gua duduk di bangku SMA, masalah ini coba gua tanggulangi dengan pake baju yang modis. Berkat internet, gua dan teman-teman SMA gua punya referensi berpakaian yang baru. Situs-situs luar negeri jadi bacaan setiap hari. Tujuan kami hanya satu, mampu menarik perhatian semua cewek yang ada di sekolah.
“Wah, ini keren nih. Rapih dan formal banget,” kata temen gua sambil membaca situs gosip tentang Brad Pitt.
“Yang ini juga keren nih. Edgy,” kata temen gua satunya, seraya ngasih liat situs fashion.
“Guys, yang ini bagus banget nih!” seru temen gua yang berhasil memancing perhatian kami semua, “Bugil!”
“Bro, itu situs bokep, bro!”
Pikir gua waktu itu, setidaknya, biarpun ga ganteng, gua masih bisa keren lah. Maka masa SMA gua adalah masa di mana gua mencari barang dengan brand-brand yang lagi in. Semua demi bisa mendapat perhatian lebih dari sekedar “Oh, Roy yang tinggi ya?”
Tapi karena proporsi bentuk badan gua yang agak anomali, baju sekeren apapun jatohnya ya biasa aja gitu di badan gua. Pake baju lengan panjang, ketika bahunya pas, lengannya kependekan. Sekalinya lengannya pas, eh bahunya melorot.
Gua selalu iri dengan mereka dengan badan proporsional, yang kalo pake baju apa aja rasanya pas aja gitu di badan. Ada kan orang-orang yang kayak gitu. Yang pake baju dua puluh ribu jadi bisa kelihatan mahal banget. Lah kalo gua pake baju mahal, yang ada malah ditanya dapet baju sumbangan dari yayasan mana.
Ganteng ga bakat, mau keren pun gagal. Dukun, mana dukun?
Namun seiring bertambahnya usia, strategi gua dalam PDKT ke cewek pun berubah. Yang pasti masih jauh dari perihal fisik atau kekerenan. Saat kuliah dan di awal-awal kerja, yang gua andalkan untuk menarik perhatian cewek adalah obrolan dan wawasan. Rasa ingin tau gua yang sebesar lingkar pinggang membuat kepala gua terisi oleh informasi-informasi ga penting yang kadang bisa jadi pencair suasana. Ini gua yakini bakal bisa jadi senjata ampuh untuk menarik minat lawan jenis.
Jadi gua melepas semua pakaian keren yang sempat jadi andalan. Gua hanya akan pake baju ketika bersih dan nyaman di badan. Lupakan juga soal kegantengan, karena emang modal gua ga ada di sana. Gua hanya akan mencari pasangan yang emang mau dan nyambung diajak ngobrol. Karena jika udah tua nanti, yang akan kami lakukan, ya hanya ngobrol. Cuma itu.
Tapi nyatanya, sulit untuk ngajak seorang cewek duduk berjam-jam lalu ngobrol, apalagi di kencan pertama. Kalo gua mau ngajak jalan saat weekend, kebanyakan dari mereka menolak di kesempatan pertama. Karena apa? Baca lagi kalimat pertama.
Pengen rasanya gua bawa obat bius ke mana-mana, just in case, you know, ada cewek manis di tengah jalan dan mendadak gua pengen ajak ngobrol. Tapi nyatanya warung deket rumah gua ga jual obat bius. Yang paling mendekati, cewek-cewek itu bisa gua cekoki dengan makanan ringan ber-MSG tinggi, lalu di tengah kebingungan akibat MSG tadi, gua akan ngajak mereka kencan lalu ngobrol panjang lebar.
Tapi gua ga mau nyerah dan mengandalkan MSG. Biarkan perjalanan mencari lawan jenis yang berminat pada wawasan terus bergulir tanpa keterlibatan zat-zat kimia. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, sampai tahun ke tahun. And in the end, I met her.
Di ulang tahun kemarin, dia ngasih gua sebuah rangkaian hadiah yang berkesan. Sebuah kejutan kedatangannya saat gua masih tidur (dan ngiler), kartu ucapan yang dibuat sendiri, email konfirmasi pemesanan tiket sebuah konser impian, serta belasan surat yang ditulisnya untuk gua buka di momen-momen tertentu. Namun dari semua rangkaian hadiah yang dia berikan, sebuah twit darinya berhasil membuat gua tertegun.
Mungkin selama ini gua salah. Gua selalu berlomba untuk bisa mencuri perhatian semua lawan jenis dan menaklukan satu di antaranya. Gua berusaha sekuat tenaga mencari cara agar menjadi menarik bagi semua perempuan.
Lewat twitnya kemarin malam, gua jadi tersadar bahwa gua hanya perlu menjadi menarik bagi satu orang saja. Gua hanya perlu menjadi ganteng di mata satu perempuan saja. Karena itu sudah lebih dari cukup.
And gladly, I already found the one.
