Good morning, Singapore! Rise and shine!
Kelar sarapan, gue keluar dari kawasan Festive Hotel dan langsung di sambut dengan hangatnya sinar mentari. Buseeet, ini mah Adam Levine aja kalah hot! Setengah merem (karena terik), gue mengendong tas ransel dan menyeret kaki menuju Dolphin Island.
Di tengah perjalanan, ponsel gue geter. Didiemin, geternya gak udah-udah. Sebenernya, gue adalah tipe orang yang paling males diganggu waktu lagi liburan. Apalagi kalo masalahnya bisa menunggu dan kalo kemungkinan besar masalah kerjaan. Tapi berhubung geternya gak berenti-berenti, akhirnya terpaksa gue keluarin dari tas dan gue cek.
And yes, it’s my boss. And it isn’t his first time, ngejar-ngejar gue ke mana pun gue pergi kayak begini. Pernah, gue di-BBM panjang lebar di hari Sabtu pagi, waktu gue lagi duduk dalam kereta wahana rumah hantu Jungleland. Haloh, Pak? Gak punya kalender ya di rumah?
Belum lagi doi hobinya nyuruh gue ngelakuin sesuatu yang mustahil. Ngejelasin itungan via BBM, misalnya. Kayak sekarang ini. Alhasil sempet miskom, dan berbuah percakapan panjang kali lebar sama dengan luas yang mana hasilnya enol besar. Bentzi aku, bentziii!
Abis kan gue mau seneng-seneng, kok ya ada aja ujian kesabarannya. Tambah gondok lagi kalo inget susahnya gue dapet cuti kayak hari ini. Sekalinya dapet cuti kok ya masih digangguin masalah kantor?
Roy, ngeliat pacarnya manyun dan lagi bad mood, milih melipir dan gak nanya-nanya penyebab muka gue seasem ketek. Dese juga gak banyak komentar waktu tau gue mau resign. Yastralah, mari dipikirkan sekembalinya ke tanah air. Sekarang bersenang-senang sama bule-bule lumba-lumba dulu!
Waktu gue dan rombongan (Adis, Roy, dan Fahmy) sampe di Dolphin Island, kami ber-waw-wow-waw norak begitu ngeliat lumba-lumba dari jarak dekat. Setelah dipersilakan masuk kolam dan elus-elus, gue langsung memikirkan sederet trik untuk menyelundupkan satu aja mamalia ini ke rumah gue. Ih, aku kepingin pelihara!
Udah gitu, bukan cuma lucu aja, mereka juga pinter! Bayangin, they can memorize hundreds of hand instructions. Ya amplop, siapa yang ngafalin puluhan rumus fisika aja keok? Sayaaa! Hihihi.
Waktu menyaksikan dengan mata kepala sendiri gimana kepiawaian lumba-lumba dalam melaksanakan instruksi sang trainer, gue sampet bertanya dalam hati, ini ngelatihnya gimana ya? Kan lumba-lumba gak ngerti bahasa manusia. Begitupun sebaliknya, si trainer gak bisa bahasa lumba-lumba. Trus mengkomunikasikannya gimana?
Pertanyaan gue terjawab waktu gue diminta menjadi ‘lumba-lumba’. Sebelum makan siang, kami di-brief singkat tentang pentingnya kesabaran seorang trainer dalam melatih lumba-lumba. Supaya lebih jelas, akhirnya kami praktek.
Gue sebagai lumba-lumba disuruh ngumpet, sedangkan sang trainer, Adis, Roy, dan Fahmy berunding untuk meminta gue menyentuh sebuah sesuatu. Kelar berembuk, gue dipanggil keluar. Gue diharuskan nebak-nebak benda apa yang mereka ingin sentuh. Gue ngerengek minta clue, tapi berempat itu diem aja trus pasang poker face. Siyal.
Berhubung putus asa tapi gak boleh nyerah, akhirnya gue lari keliling ruangan dan megang semua benda yang gue temui. Toel pohon palem, toel meja, toel kamera, toel dagu Roy, toel pelampung, toel kursi, smuanya masih salah. Jangan-jangan instruksinya toel langit nih.
Mirisnya lagi, gak ada yang kesian ngeliat ‘lumba-lumba’ imut ini kebingungan. Mereka tetep aja duduk santai sambil pasang muka sedatar papan. Kedzjam!
Gue nengok kanan-kiri. Mencoba lebih teliti merhatiin benda apa yang tadi kelewat gue sentuh. Karena pusing, gue memutuskan untuk ngulang lagi noel-noelin seluruh barang di dalem ruangan. Kali ini, ubin kagak ketinggalan, bantal kursi, pot pohon palem, air minum botolan…
“PRIT!”
Telinga gue menangkap suara pluit yang ditiup. HOREEE! Berarti dari tadi tuh gue disuruh nyentuh botol minum toh. Yailah!
Setelah gue kembali duduk, sang trainer kemudian bilang, bahwa kebingungan gue tadi kurang lebih sama kayak yang dirasain oleh lumba-lumba ketika mereka menerima sebuah instruksi. Gampang? Susaaah!
Lumba-Lumba udah pasti berkali-kali salah mengartikan. Belum lagi setelah bisa ngartiin, mereka juga kudu menghapal dan membedakan. Inget, instruksinya gak satu lho. Ada puluhan, bahkan ratusan.
Karena itulah, sang trainer menegaskan, kunci kesuksesan latihan adalah stok sabar para pelatihnya. Salah? Ulang lagi. Salah? Coba lagi. Masih salah? Ulang. Begitu terus sampe berhasil.
Tapi menurut gue, kunci keberhasilan kolaborasi dari trainer dan lumba-lumba-nya bukan hanya semata-mata dipengaruhi oleh kesabaran sang trainer. Kerja keras dan mental baja si lumba-lumba juga memegang peranan penting. Bayangin aja kalo lumba-lumbanya gampang nyerah. Sekali kebingungan karena gak bisa menterjemahkan instruksi, doi langsung ngambek terus berenang tak tentu arah, gak mau latihan lagi.
Hebatnya, lumba-lumba gak nyerah waktu mereka salah. Masih belum bener? Coba lagi. Belum juga? Lagi, lagi, dan lagi, sampe terdengar bunyi pluit yang ditiup sang trainer. Sampe mereka berhasil menerjemahkan maksud dan harapan sang trainer. Mereka akhirnya bisa, karena terus mencoba dan berusaha. Nggak kenal kata nyerah. Jatuh, bangkit lagi. Salah, coba lagi.
Lamunan di tengah perjalanan menuju makan siang itu terputus saat getaran ponsel terasa dalam kantong. Begitu buka BBM, gue langsung disambut puluhan pesan dari –siapa lagi kalo bukan– Pak Bos. Isinya tentu saja nanya ini, nanya itu, nyuruh ini, nyuruh itu.
Gue diem bentar, narik nafas, kemudian mulai mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Bos. Miskom, dia gak ngerti. Masih bingung, jelasin lagi. Sampe akhirnya dia paham dan setuju permintaannya akan gue kerjain di hari Senin. Ya amfun, puji Tuhan akhirnya si bapak sadar saya lagi liburan!
“Bos kamu lagi ya? Udah nggak usah diladenin deh, kan mau resign juga.” Roy tiba-tiba menegur gue yang lagi sibuk sama ponsel.
“Ho oh. Nope, kayaknya aku batal resign.”
“Lho? Kenapa?”
Gue tersenyum simpul.
Seperti yang pernah gue bilang sebelumnya, manusia bisa belajar dari siapa atau apa saja. Asal rendah hati, mereka selalu bisa memetik pelajaran dari seseorang atau sesuatu. Kali ini gue dapet pelajaran itu dari seekor lumba-lumba yang pantang menyerah.
—
PS: Tulisan ini dibuat oleh Sarah Puspita untuk segmen “Kata Sarah” pada blog saputraroy.com. Untuk membaca tulisannya yang lain dapat berkunjung ke sarahpuspita.com.
