“Ke Korea? Ngapain?”
Begitu tanya gua ketika mendengar salah seorang teman kantor mau traveling ke Seoul, Korea Selatan, selama beberapa hari.
“Ah, gua tau nih,” lanjut gua, sebelum si teman sempat menjawab, “Mau operasi plastik ya?”
Meski Korea Selatan terkenal sebagai negara yang mudah untuk melakukan operasi, ternyata bukan itu alasan teman gua ini mau traveling ke sana. Dia adalah satu dari ribuan orang yang menjadi “korban” demam Korea yang sempat melanda Indonesia. Dan traveling minggu depan itu akan seperti “naik haji” baginya.
Gua sendiri agak ga paham dengan mereka yang sangat menggemari musik pop Korea. Harus gua akui, musiknya sih memang enak. Bonamana-nya Super Junior, misalnya. Tempo up beat-nya bisa membuat kepala gua bergoyang otomatis mengikuti dentuman musiknya. Namun yang membuat gua ga paham adalah mereka belum tentu mengerti apa arti lagu Korea-Korea itu. Gua gagal paham, kenapa lagu dengan lirik bahasa yang sangat asing, kok bisa dinikmati segitunya?
“Emang lu ngerti liriknya?” tanya gua lebih lanjut karena penasaran ketika dia jelaskan alasannya.
“Ga sih,” jawab dia, “Cuma enak aja lagu-lagunya. Dan personilnya itu lho…”
“Kurang hormon testosteron?”
“…ganteng banget, Ayam.”
Personil boyband Korea ini juga salah satu hal yang membuat gua semakin kurang paham. Gimana mungkin para pria itu bisa menari sedemikian luwes tanpa asupan gula yang berlebih dan ancaman diabetes setelahnya?
Tapi kebingungan itu hilang ketika gua iseng nge-Youtube saat break kantor beberapa minggu lalu. Waktu lagi asik nonton Postmodern Jukebox via komputer kantor, di kolom sebelah kanan, muncul related video yang berhasil membawa kenangan gua terbang ke beberapa tahun lalu saat gua masih kuliah. Sebuah video tentang band yang lirik lagunya sama sekali gua ga mengerti.
Nama band itu L’arc en Ciel.
L’arc en ciel adalah band asal Osaka (Jepang) yang lahir pada tahun 1991. Band yang digawangi oleh Tetsu (bass), Hyde (vokal), Ken (gitar), dan Yukihiro (drum) udah menjual lebih dari 15 juta copy album dan dicap sebagai salah satu band tersukses di Jepang. Keterbatasan orang Jepang dalam melafalkan kata L’arc, membuat nama band mereka disebut Laruku di Jepang.
Tahun 2012 lalu, Laruku sempet konser di Jakarta dalam rangkaian World Tour ulang tahun mereka yang ke-20. Dan malam itu, gua mengalami orgasme pada telinga dan mata. Kualitas musiknya udah ga perlu dipertanyakan. Dengan 3 alat musik dan 1 vokal, Laruku bisa membuat musiknya begitu ramai dan penuh. Visualnya pun oke banget. Layar di panggung ga hanya menampilkan Hyde dan teman-teman yang sedang bermain, tapi disajikan dengan sangat artistik dan menyatu dengan lagunya.
Benar-benar konser kelas dunia.
Gua masih inget kejadian tahun 2012 itu. Hampir di setiap lagunya, gua loncat-loncat mengikuti hentakan musik. Meneriakkan bait demi bait sampai suara serak hampir abis. Meninju-ninju langit, meluapkan semangat yang berlebih.
Gara-gara muncul related video itu, gua jadi ingin bernostalgia lebih jauh. Biar lebih enak, gua memutuskan untuk mematikan komputer dan nonton di area pantry kantor. Gua mengambil ASUS Fonepad 7 FE170CG dari dalam saku, duduk di sofa area pantry, dan mulai menikmati video Laruku dari layar tablet 7 inch itu.
Enaknya, Fonepad 7 pas untuk digenggam di satu tangan. Selain karena bezelnya yang cukup tipis, beratnya yang hanya 295 gram ga membuat tangan cepat pegal. Gua jadi ga perlu repot-repot meletakkan Fonepad 7 di bidang lain. Cukup menggenggamnya dengan tangan kiri, dan tangan kanan pun bebas memilih video yang ingin gua putar.
Pencarian gua ga terganggu karena performa Fonepad 7 didukung oleh chip Intel Atom Z2520 dan prosesor multicore 1,2 GHZ. Selain itu, Fonepad 7 juga dilengkapi dengan RAM berkapasitas 1 GB dan internal memori sebesar 8GB. Ga perlu khawatir bakal nge-hang atau lemot, bahkan ketika membuka beberapa apps sekaligus.
Setelah pencarian beberapa menit, mata gua tertuju ke satu video. Sebuah dokumentasi saat Laruku sedang menyanyikan lagu Driver’s High di World Tour Final 2012 di Tokyo Dome. Soundtrack Great Teacher Onizuka (GTO) ini berdentum keras via speaker depan Fonepad 7 yang berukuran ekstra panjang. Dengan teknologi Asus Sonic Master, suara sedetail teriakan penonton pun masih terdengar renyah di telinga.
“Lagi ngapain lu, Roy?” tanya temen gua yang mau ke Korea itu, memecah konsentrasi gua.
“Nonton Youtube nih.”
“Pake wifi kantor ya lu?”
“Kagak dong,” jawab gua, “Pake mobile data. Fonepad 7 gua kan bisa sim card. Dual sim pula.”
“Ooo,” ujar si teman sambil jalan menghampiri, “Nge-Youtube apa sih?”
“Ini. Laruku. Band Jepang.”
Si teman tiba-tiba mengernyitkan dahi, “Emang lu ngerti bahasa Jepang?”
“Kagak,” jawab gua singkat.
“Lu mempertanyakan kenapa gue suka Korea padahal ga ngerti bahasanya. Lah lu sendiri?”
Pertanyaan itulah yang membuat gua akhirnya tersadar. Bahwa waktu nonton konser Laruku tahun 2012 lalu itu gua juga sama sekali ga ngerti liriknya. Tapi gua loncat-loncat mengikuti hentakan musiknya. Teriak menyanyikan bait demi bait dari setiap lagu, meski ga ngerti apa artinya.
Tersadar bahwa kalo selera orang, ya mau gimana lagi. Yang demen clubbing, mungkin bakal bilang DWP pecah. Yang hobi jazz, akan berbondong-bondong ke Java Jazz. Yang suka K-pop, pasti rela ngantri konser Super Junior selama berjam-jam.
Mereka semua akan bilang musik yang mereka sukai itu bagus, sebagaimana gua akan bilang lagu Laruku itu enak, meski ga ngerti apa artinya.
Namanya selera, ya ga bisa diatur-atur. Ga bisa disama-samain atau dibeda-bedain. Ga ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Namun yang pasti, semua orang punya seleranya masing-masing. Dan setiap orang berhak menikmati seleranya masing-masing.
Karena memperdebatkan selera adalah hal yang sia-sia.
Gua pun menyudahi sesi nonton video Laruku siang itu. Memasukkan Fonepad 7 kembali ke dalam saku sambil berjalan melewati teman yang terkena demam Korea itu.
“Ya setidaknya, Laruku gua ga kekurangan hormon testosteron.”
—
“Art and life are subjective. Not everybody’s gonna dig what I dig, but I reserve the right to dig it.” ― Whoopi Goldberg
