“Bang, novel Luntang-lantung-nya lucu parah! Difilmin dong, Bang! Pasti seru deh!”
Kurang lebih begitulah bunyi satu mention yang masuk di sebuah siang pada tahun 2011. Gua tersenyum karena senang ada satu pembaca yang memberikan apresiasi positif. Namun senyum yang sama juga berarti mengabaikan harapannya untuk melihat Luntang-lantung dalam wujud film. Novel Luntang-lantung baru rilis beberapa minggu, sangat jauh untuk bisa dikategorikan layak diangkat ke layar lebar.
Memang, waktu itu udah ada beberapa novel yang diadaptasi menjadi film. Namun semuanya pastilah national best seller. Semua novel yang udah pernah diangkat ke layar lebar berlabel laris manis dari Sabang sampai Merauke. Jangankan nasional, waktu itu Luntang-lantung belum best seller di satu kelurahan pun.
Gua ga ada niatan untuk mengajukan novel ini ke mana-mana. Novel ini belum ada prestasinya. Banyak yang baca aja gua udah seneng. Gua ga berani masukin Luntang-lantung ke rumah produksi. Jangankan ke rumah produksi, rumah bordil aja gua ga berani.
Siang itu juga, gua membalas mention yang masuk tadi. Mengucap terima kasih atas komentarnya, tanpa sedikitpun membahas tentang kemungkinan novel gua menjadi film. Karena dalam hati gua tau, kemungkinan itu kecil sekali. Lebih kecil dari alat kelamin oknum YZ di video mesum bareng Maria Eva. Sangat-sangat kecil sekali.
Namun lucunya, mention bernada serupa masuk berulang kali dari beberapa pembaca yang berbeda. Apresiasi positif yang dibarengi dengan pertanyaan sejenis, “Bang, kok ga difilmin?” atau seruan seperti, “Jadiin film dong, Bang!” ga jarang muncul di tab mention.
Tapi jangankan difilmin, saat itu gua sedang berjuang sendirian menghidupkan Luntang-lantung di rak-rak toko buku. Gua sedang giat mendongkrak Luntang-lantung lewat kuis atau promo selintas di berbagai social media. Yang ada di pikiran gua saat itu hanya gimana biar buku ini bisa survive dan semangat yang gua usung dapat tersalurkan dengan luas.
Perjuangan itu menghasilkan. Luntang-lantung sempat naik ke rak best seller Gramedia-Gramedia besar di Jakarta. Gramedia Pejaten Village, Kelapa Gading, Matraman, Artha Gading, dan beberapa lainnya. Yang paling lama, Luntang-lantung menghiasi rak best seller Gramedia Pondok Indah Mall. Respon positif semakin mengalir ke kolom comment di blog, inbox email, ataupun tab mention. Gua bahagia karena akhirnya perjuangan ini menghasilkan.
Namun kenyataan berkata lain. Meski ludes dalam waktu 4 bulan di pasaran Jakarta, nasib Luntang-lantung berhenti ga lama setelahnya. Ga ada cetakan berikutnya, ga ada restock, dan ga ada kabar dari penerbit. Perjuangan gua selesai bersamaan dengan hilangnya Luntang-lantung di rak toko buku.
Gua sedih banget. Tapi di satu sisi, gua gregetan.
Novel ini banyak dapet apresiasi positif tapi kok udahan? Novel ini ludes di pasaran Jakarta tapi kok udahan? Novel ini sempet mendapat label best seller di Gramedia besar tapi kok udahan?
Tapi meski stock novelnya udahan, perjuangan gua ga akan udahan.
Tangan gua kepal kuat-kuat saat tekad tadi bermain dalam kepala. Jika buku ini ga muncul lagi di rak toko buku, gua akan memperjuangkan agar dia bisa lahir kembali lewat media lain.
“Bang, novel Luntang-lantung-nya lucu parah! Difilmin dong, Bang! Pasti seru deh!”
Iya. Lewat film.
Pemikiran ga berani mengirimkan novel ini ke rumah produksi pun gua hapus dari memori. Perasaan takut ditolak dan dicibir gua buang jauh-jauh. Naik Lion Air aja gua berani, masa masukin naskah ke rumah produksi ga berani?
Gua lalu mulai mengumpulkan novel Luntang-lantung yang masih tersisa. Menghubungi satu per satu beberapa teman baik untuk meminjam novel Luntang-lantung yang pernah mereka beli. Tekun mencari alamat rumah produksi dengan bantuan internet. Giat menyusun sinopsis Luntang-lantung untuk dikirimkan ke alamat rumah produksi yang berhasil gua temukan. Setelah semuanya siap, sinopsis dan buku itu pun gua sebar berbarengan ke beberapa rumah produksi sekaligus.
Berminggu-minggu gua menantikan datangnya kabar via nomor asing yang terpampang di layar handphone. Tapi handphone gua sepi dari panggilan. Berminggu-minggu, berbulan-bulan. Ga ada satupun kiriman gua yang mendapat kabar atau balasan. Hari itu gua seperti tertampar dan tersadar. Sepertinya perjuangan gua memang harus berhenti. Selesai sampai di sini.
Tapi semesta berkehendak lain.
Tahun berganti dan gua berkenalan dengan seorang teman bernama Kania Kismadi. Sebetulnya ini perkenalan yang agak jauh dan ga pernah disangka-sangka. Dari teman ke teman, ke teman satunya, ke teman satunya lagi, dan ke teman satunya satunya lagi. Perkenalan inilah yang membuat tekad gua kembali bergulir.
Kania adalah pemilik blog ngobrolinfilm.com. Dari blog itu, gua jadi tau kalo Kania penggemar film-film Indonesia. Hal itulah yang membuat gua nekad mengajaknya ikutan project setengah mimpi ini.
“Kan, lu mau bantuin gua ga?”
“Apaan?”
“Gua mau ngefilmin novel Luntang-lantung nih. Bantuin gua masukin ke rumah produksi dong.”
“National best seller ga?”
Gua menggeleng, “Ga, Kan.”
“Hmmm. Follower lu berapa?” tanya Kania dengan muka datar.
“800-an.”
“Waduh, berat kayaknya, Roy.”
“Tapi jalan ceritanya menarik, Kan,” bujuk gua sambil menyodorkan novel Luntang-lantung, “Ini, lu baca dulu deh.”
“Ya udah, gua baca dulu ya. Gue ga janji tapi gue coba bantu.”
Minggu dan bulan terlewati, tapi belum ada kabar sama sekali. Kania masih berusaha menjajakan sambil gua sesekali mem-follow up kiriman gua yang dulu. Namun semuanya seperti nihil. Semuanya terasa seperti usaha yang kosong dan sia-sia.
Sampai di akhir tahun 2012, nama Kania muncul di layar handphone. Dengan segera, gua menekan tombol hijau pada keypad. Suara di ujung satunya terdengar dengan bulat dan jelas. Kania membawa kabar yang telah gua nanti-nantikan hampir setahun lamanya.
“Roy, Bang Ody dari Maxima Pictures tertarik untuk ngangkat Luntang-lantung ke layar lebar.”
…
My heart skipped a beat.
Lutut lemes. Tangan gemeteran. Bulu kuduk pun merinding.
Rasanya pengen teriak, tapi kerongkongan seperti tercekik. Tertekan oleh pemikiran-pemikiran bahagia yang sedang surplus. Napas memburu satu-satu. Seperti orang lelah, padahal dari tadi gua hanya duduk dan mendengarkan. Hari itu jadi hari yang luar biasa buat gua.
Luar biasa karena Maxima Pictures adalah rumah produksi yang besar dan ternama. Luar biasa karena akhirnya project setengah mimpi ini bisa jadi satu lingkaran penuh. Luar biasa karena buku ini bukan national best seller. Luar biasa karena jumlah follower gua sama sekali ga bisa dijadikan bahan pertimbangan. Luar biasa karena Luntang-lantung cuma menjual jalan cerita. Cuma itu. Cuma jalan cerita.
Waktu berjalan dan di bulan Oktober 2013 kemarin, akhirnya produksi film Luntang-lantung dimulai. Film ini disutradarai oleh Fajar Nugros, sineas muda yang telah menyutradarai film-film remaja, seperti Queen Bee, Refrain, dan yang akan rilis 7 November besok, Adriana. Trio tokoh utama Luntang-Lantung diperankan oleh Dimas Anggara (sebagai Ari Budiman), Muhadkly Acho (sebagai Suketi Kuncoro), dan Nugroho Achmad (sebagai Togar Simanjuntak). Proses shooting akan berlokasi di Jakarta dan Medan.
My dream is happening.
Sumber gambar: akun Twitter @Demi_Istri (Demi Istri Production)
Perjuangan gua telah sampai di titik ini, namun gua belum mau berhenti. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Masih harus giat wara-wiri demi mendongkrak penjualan novel Lontang-lantung, sebuah kemasan ulang dan revisi dari edisi yang lama. Masih harus gigih mempromosikan film ini ketika udah tayang di bioskop-bioskop kesayangan kita semua. Masih harus terus berusaha. Masih harus terus berjuang.
Akhir kata, gua ingin mengutip sebuah kalimat yang seorang peserta benteng Takeshi sering ucapkan:
Doakan saya ya. Saya pasti bisa :)
—
PS: This post is dedicated to Kania Kismadi, who made the project happened. Thank you, Kan.
